Selasa, 01 September 2015

[ 1stLD ]




Ketika Sepuh Belum Tentu Mampu Menjadi “Sesepuh”

Sepuh belum cukup valid dan sah untuk dianggap sebagai  sesepuh. Itu kami sepakat. Tapi kami juga menggaris-tebalkan satu fakta yang dicuatkan Andre Siksa Kubur, bahwa yang masih bau kencurpun, belum tentu bisa menuakan yang memang selayaknya dianggap “sesepuh”.  Kenapa?

"Selamat datang di dunia ketiga! Face it! Banyak hal yang di negara maju sudah bukan lagi hal penting, tapi  di sini [Indonesia-red] masih sangat penting. Contoh, pengakuan kalau kita ini senior, duluan, pembuka jalan,  pencetus, sedangkan hal-hal tersebut di atas adalah hal yang sudah lewat. Jadi intinya, mentalitas kita adalah senang berkutat di masa lalu. Sedangkan mentalitas bangsa maju adalah masa depan," urai Andre Siksa Kubur kepada Grim Corpse beberapa waktu lalu.

"Dan banyak yang lupa kalau ukuran musisi, seniman, apapun, yang dinilai tentunya adalah karya. Jadi tanpa karya yang signifikan, senioritas tak lebih hanya sebuah kalimat keren untuk menunjukkan kalau "Gue lebih tua"," sambungnya.

Sampai di sini, adalah masalah mentalitas yang terdeteksi. Bisul menahun, bertahun-tahun yang tidak juga segera pecah,  dan justru semakin menjadi borok berjudul pemlintiran tujuan mulia gerakan bawah tanah : "community for unity".

Apalagi berdasarkan survei acak yang kami lakukan, kami sampai kenyataan menyedihkan. Ketika "senioritas" tidak lain merupakan wajah lain "penindasan" bagi mereka yang masih bau kencur. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah-daerah.

“Menurut gue pribadi, bentuk-bentuk penindasan dari "senior" ke "junior" itu hanya untuk menutupi ketidak-mampuan mereka jadi panutan. Dan cara apa lagi sih yg bisa membuat kita nampak tinggi selain merendahkan yg lain? Tapi sekali lagi, that’s not musician way!,” tegas Andre menjawab “kolonialisme” tolol itu.

“Sebab buat gue sendiri kata senioritas itu ya hanya menunjukan tingkatan, era atau klasifikasi jaman \ angkatan. Dan biasanya kata senior \ senioritas dipakai dikalangan akademisi atau perusahaan misalnya. Dan di lingkup underground pun buat gue, kata "senior" itu hanya label untuk menunjukan kalau orang tertentu berasal dari era tertentu, tidak lebih dari itu, dan sama sekali tidak menunjukan tingkat intelektual, skill dan sebagainya,” jelasnya.

Andre juga menegaskan, hal itu juga berlaku bagi keberadaan Siksa Kubur. Maksudnya, jika tolak ukur “senior” itu berangkat dari “era”, Andre tanpa ragu mengiyakan jika Siksa Kubur termasuk dalam band senior.  “Tapi sudah, hanya sebatas itu aja! Itu tidak membuat kami lebih baik dari band-band muda. Sebab band tua tanpa karyapun tidak akan ada gunanya!,” tegasnya.

Sayangnya, masih menurut Andre, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dirubah. Ini karena masalah mentalitas itu sudah terlalu amat sangat mengakar. Seperti gila hormat, mengagungkan senioritasnya, dan suka merendahkan juniornya. “Itu hal-hal yang tidak bisa dihentikan. You just have to live with it and don’t give a single fuck,” sarannya.

Ini tentu menjadi saran yang sangat menarik dan konstruktif menurut kami. Apalagi jika melawan, perlawanan itu masih dianggap tabu, dan tak jarang berakhir dengan pembunuhan karakter, mutilasi kesempatan untuk berkarya, termasuk stempel “cari perkara” yang tercetak tebal di jidat.

“Cara yang dari dulu selalu berhasil adalah, take a stand, do your things and never be afraid! Karena cuma karya yang bisa membungkam mereka. Dengan berkarya dan tampil sebaik-baiknya, waktu yang bakal menentukan siapa yang akan tetap berdiri. I did that, and it feels good!,” sambungnya.

Tapi itu juga bukan berarti pembenaran bagi Anda yang tergolong bau kencur untuk mengabaikan rasa hormat pada mereka sudah “lebih dulu”. “Sebab basically we have to respect every human being. Tapi kita yang menentukan who deserves it [respect-red] dan sangat tergantung pada apa yang sudah diberikan yang tua. Baru kita bisa memutuskan seperti apa bentuk rasa hormat yang harus diberikan. Pure respect? Or just applause? Or both? Or none? ” tutup Andre. [gc]






Ketika Ksatria Logam Hitam Siap Hitamkan Dunia.
2013 bisa jadi merupakan tahun kebangkitan bagi penggiat Logam Hitam tanah air. Bagaimana tidak. Belumlah reda gendang telinga "rusak" dihajar jahatnya "Warkvlt", disusul dengan kelahiran album "Dhoho Satan Attack" yang tanpa basinya basa-basi merampas habis isi kepala. Kini genderang perang dari Madura bertajuk "350" itu juga sudah mulai ditabuhkan.
Prediksi mengenai eksistensi Black Metal di masa mendatang dipercayai oleh beberapa komunitas bakalan bertumbuh. Front Man MAKAM Shiva Ratriarkha mengatakan, hal tersebut sebenarnya tidak terlepas dari efek domino dari banyaknya festival tour yang digelar di beberapa kota besar di tanah air yang juga sekaligus menyajikan deretan artis-artis Black Metal kawakan kaliber internasional.
“Perihal hubungannya dengan fenomena demam peluncuran album akhir-akhir ini oleh Black Metal lokal menurut saya pribadi, ya semacam gayung bersambut. Ada semacam “penyegaran” oleh faktor di atas, hanya hebatnya ini diserap semangat dan inspirasinya kemudian dirayakan kembali lewat karya dan kemasan yang baru. Jadi saya melihatnya para kombatan metal di wilayah ini cukup cerdas dalam menyikapi setiap dinamika dan perkembangan zona metal di tanah air.
Mungkin, jika saya boleh berkomentar,  ini adalah saat yg tepat untuk menunjukan dedikasi dan eksistensi di dalam BM. Disaat band-band dari luar negeri silih berganti merangsek masuk, perform dan melakukan lawatan tour, kita yang di dalam negeri telah siap mengisi setiap ruang gema yang ditinggalkan,” ulasnya kepada Grim Corpse beberapa waktu ini.
Tapi demikian, Shiva menegaskan, tidak serta merta hal itu bisa dijadikan tolak ukur kebangkitan Logam Hitam Indonesia. “Ini bisa menjadi salah satu faktor analisa tersebut, hanya saja ini tidak cukup. Diperlukan fenomena yang lebih untuk mendukung dan meyakinkan bahwa ini sebuah era kebangkitan. Misalnya muncul fenomena yang cukup signifikan dimana didapati adanya “demam” acara total black metal fest local yg mampu menghadirkan headliner band Black Metal mancanegara.
 Ini penting menurut saya, sebab konsep seperti itu akan cukup efektif sebagai materi pembelajaran dan gaungnya diyakini cukup mampu memperdayakan Black Metal lokal itu sendiri dari banyak sisi. Kita bisa bayangkan dari tata kelola penyelenggara, konsep acara, fashion, merch, artworker, media, hingga artis lokal Black Metal tanah air, semua komponen ini dipastikan akan mampu bersinergi satu sama lain. Dan gongnya adalah keterbukaan dan keperpihakan pihak-pihak yang mampu mengangkat Black Metal  ini sebagai industri. Lalu tataran selanjutnya adalah merayakannya dalam karya, karena inilah gerbang kebangkitan yg sebenarnya,” paparnya.
Dengan kata lain, tidak ada salahnya juga bagi para penggiat untuk membekali diri dengan sejumlah amunisi macam inovasi juga invasi otak demi lahirnya karya-karya yang tidak melenceng jauh dari kata kualitas.
Seperti yang disampaikan gitaris Obor Setan Eep La Guera yang mengatakan, bahwa kebangkitan yang sebenarnya terletak pada sisi kualitas. “Terutama player/musisi Black Metal  belajar dan terus belajar untuk meningkatkan skil musikalitasnya yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya dan berbentuk fisik yang bisa didengar dan dinikmati oleh para kalangan pendengar setia.
Selain itu, mengerti dan bertanggungjawab atas apa yang telah dia perbuat/lakukan. Contoh, ada band Black Metal melakukan ritual [sajen, minum darah kelinci, memakai kostum kain kafan "pocong" dan sebagainya], tapi begitu ditanya untuk apa kalian melakukan itu? dijawab : biar kelihatan serem, biar kelihatan sangar. Tanpa ada jawaban yg bisa dipertanggung jawabkan dan segi musikalitas yang kurang baik,apakah itu sebuah kebangkitan? Kemajuan? Atau malah keterpurukan?,” tanyanya balik.
Ya, pertanyaan itu jelas menjadi tanggung jawab semua pihak, utamanya bagi Anda yang memberi label diri sebagai musisi, penggiat. Di luar ingar-bingar kebangkitan yang ditandai dengan rilisan bentuk fisik, pertanyaan sederhana itupun kami sisipkan. Sudah siapkah Anda, para ksatria Logam Hitam menjadi ksatria yang berkualitas? [gc]
Quote of the day :
“Tolok ukur kebangkitan suatu pergerakan aliran bermusik dari segi kualitas menurut pribadi saya dapat dicermati dari rilisan, hasil rekaman, format kemasan, materi musikalitas, kekuatan lirik, kematangan konsep artwork, pemilihan tema hingga tata visual presentasi band, baik itu dlm konsep photo session maupun live perform. Jika ini menunjukkan kepada arah yang lebih mempunyai nilai atau pesan dan ini mulai me-indikasi-kan penyadaran untuk meninggalkan hal-hal yang sepantasnya tidak diperlukan atau bukan pada tempatnya di dalam konteks metal scene, maka itulah tahapan sisi kualitas muncul dan dikenali”. – Shiva Ratriarkha of Makam.




…Menjadi Pagan, Atas Nama Tuhan…


A religion old or new, that stressed the magnificence of the universe as revealed by modern science, might be able to draw forth reserves of reverence and awe hardly tapped by the conventional faiths. Sooner or later, such a religion will emerge. (Carl Sagan, Pale Blue Dot - 1994)

Ketika memahami saja tidak cukup, ketika meyakini dengan membabi buta tidak laku, ketika kita bicara soal pagan, garis bawahi tebal-tebal : ini bukan lagi soal 'isme' sempit dan gelap. Tidak bisa mencongkel hanya di satu sisi saja. Karena tidak bijak rasanya, mengumbar pengetahuan yang hanya secuil. Ya, itu kata kuncinya. Pengetahuan. Karena kali ini kita akan berhadapan, dengan sejarah yang nyaris sama tuanya, dengan usia peradaban dunia.

Sejauh ini, yang bisa kami katakan, pagan berasal dari bahasa latin. Tapi tidak ada satupun definisi yang mampu menjelaskan secara gamblang, makna kata itu. Tapi setidaknya, ada tiga interpretasi mayor, yang bisa kami rangkum. Pertama, kelompok modern, yang memaknai pagan sebagai sesuatu yang “kuno”. Masih melakukan serangkaian upacara ritual, menyembah patung keagaaman Yunani, Romawi, dan aliran "banyak Tuhan" lainnya.

Kedua, mereka yang percaya, pagan berasal dari kata "paganus" yang berarti masyarakat sipil. Lawan dari militer. Ini bisa ditemukan di literatur awal abad Kekaisaran Romawi. Saat itu, penganut katolik menamakan dirinya sebagai "Miles of Christ" atau Prajurit Kristus. Dan menjuluki non-katolik, sebagai "pagani", yang berarti bukan prajurit.

Ketiga, mereka yang lebih suka menggunakan terminologi netral, yang ditawarkan Christine Mohrmann di "Encore une fois: paganus". Mohrmann menjelaskan makna pagan sebagai "The Outsider".

Ketiganya, tidak bisa dilepaskan dari penyebaran agama Katolik, sebelum dunia nmemasuki Abad 5 Sesudah Masehi. Dan tidak satupun dari definisi di atas, disepakati secara mutlak. Artinya, pro dan kontra, berasal dari sudut pandang mana Anda saat ini berdiri. Dan tentu saja, sejauh mana Anda memahami secara obyektif, bahasan yang Anda kuasai.

 Memasuki abad ke 5 Sesudah Masehi, pengertian pagan mulai berkembang. Tidak lagi melulu mengacu pada satu agama tertentu. Malah lebih buruk dari itu. Pagan dan pelakunya, nyaris dikaitkan dengan pemujaan terhadap demit. Sekali lagi, ini karena tidak banyak masyarakat yang paham soal Pagan. Dan menelan mentah-mentah makna na'udzubillah itu. Tanpa filter. Bablas begitu saja.

Sampai di sini, kami sangat menyarankan Anda, untuk berada dalam kotak pemahaman yang sama. Yakni melihat Paganisme sebagai jalan spiritual. Yang mendasarkan kepercayaannya, bisa pada pengagungan dewa-dewa, simbol, dan atau, tata cara ritual yang berasal dari kepercayaan kuno.

Kalau negara Barat punya aliran kepercayaan macam Druidic, Asatru, Wicca, Hellenimos, Religio Romano, Kemetism dan sebagainya, maka Indonesia punya yang namanya Kejawen. Sebuah aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke Jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah, tetapi juga mengakui mistik yang berkembang, dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.

Kalau kata Djiva Ratriarkha (Makam), paganisme bisa juga dikenali sebagai sebuah pergerakan, untuk melestarikan tradisi spiritual asli turun-temurun warisan dari moyang suatu bangsa. Dan sebuah identitas penolakan yang memerdekakan.

Baik Barat maupun Timur, masing-masing aliran bemuara dari akar yang sama. Kepercayaan kuno. Tapi aplikasinya berbeda-beda. Wicca dan Druid misalnya. Fokusnya pada keselarasan alam. Hellenimos dan Religio Romana, lebih mengacu pada penyembahan dewa-dewa. Dan yang paling dekat, yang bisa Anda pelajari, ritual dalam Kejawen.

Singkatnya, pagan, sama halnya dengan agama “Tuhan itu Satu, dan Satu-satunya Tuhan”. Mengacu pada kedamaian dalam hal batiniah. Berifat sangat personal. Pribadi. Yang membedakan, cuma dua : persepsi dan regulasi.

Soal persepsi, sekali lagi sangat tergantung pada kemauan Anda membekali diri dengan banyak referensi. Dan kemauan Anda, mengolah informasi tanpa tendensi. Sementar soal regulasi, terus terang, kami malas mengulas banyak soal ini. Karena sangat terikat dengan politisasi. Dan sejak politik sudah melukai intelejensi, jadi maaf, kami lebih suka mengisi TTS, daripada mengurai isi tanpa isi.

Terakhir, apa yang kami sampaikan, tidak bisa dikatakan sebagai rangkuman, apalagi akhiran. Ini hanya prolog tanpa perlu ada epilog. Justru kami berharap, Anda mau menguliti lebih jauh, apa yang sudah kami tawarkan saat ini. [gc]



Satanic, When The Clown Wearing A Crown

Sah-sah saja memang, ketika Anda memproklamirkan diri sebagai penganut Satanis. Tapi jika Anda berkoar-koar hanya sekedar pamer sangar, dan lebih buruk lagi, menjualnya sebagai “sensasi murahan” berkedok “atraksi kampungan” di atas panggung sembari mengibarkan bendera Black Metal, tampaknya Anda perlu mengkaji ulang pemahaman Anda tentang Satanisme. Ini, jika Anda tidak ingin disebut sebagai badut yang sedang mengenakan mahkota logam hitam.


Tenang, kami tidak sedang menghakimi. Kami hanya mengajak Anda untuk menguji kembali visi-misi Anda. Apakah Anda adalah Satanis yang Black Metal, atau Black Metal yang Satanis, atau malah Satanis yang Tidak Satanis? Ini penting untuk diketahui, bukan semata untuk Anda, tapi juga untuk pembelajaran bagi semua pihak.

Sebab bukan tanpa alasan, jika banyak pelaku dan penggiat Black Metal di ranah bawah tanah Indonesia, kemudian berbalik mempertanyakan visi-misi Anda sebagai Satanis. Apalagi dalam prakteknya, Anda memperkuat visi tersebut lewat aksi panggung yang melibatkan darah, pengurbanan hewan, dan berdalih bahwa hal yang Anda lakukan, merupakan bagian dari ritual Anda sebagai penganut Satanis.

Dan yang perlu digarisbawahi tebal-tebal, ada harga mahal yang harus dibayar para musisi Black Metal lainnya, yang mengedepankan karya ketimbang aksi tanpa makna. Mulai dari dianggap sebelah mata, baik secara terbuka ataupun tertutup diblack-list dari sebuah event, sebab paranoia event-organizer terhadap stigma sempit bahwa musisi Black Metal pasti melibatkan ritual, dan sebagainya.

Satu hal yang pasti, jika Satanisme adalah sebuah paham, ajaran, ideologi, yang sifatnya hanya sampai pada tataran personal, dan sama seperti ajaran keagamaan lain yang memasukkan ritual sebagai media berkomunikasi dengan “Yang Maha”, maka tentu saja ada kode etik, syarat dan kondisi tertentu ketika melakukan sebuah ritual.

“Artinya, baik dengan alasan tradisi atau satanisme, ini semua sudah kelewat salah kaprah! Sebab membawanya (ritual) di atas show, sangatlah memojokkan dan merendahkan eksistensi Black Metal sebagai kumpulan badut-badu horor mesum (mirip tren perfilman nasional) dan jauh dari kesan kelompok pemusik ekstrem metal,” tegas Vokalis Kejawen Pagan Metal Makam Solo, Shiva Ratriarkha.

Shiva juga menyampaikan keprihatinnya dengan fenomena ritual Satanisme di sebuah event extreme metal. “Kita yang mempunyai ritual tradisi saja, ga pengen tuh ngikut mengusung adegan konyol seperti ini, atau bahkan katakanlah kita punya link dengan kaum okultis, juga ga sebegini cerobohnya show up dengan ngobral pamer sangar,” lanjur abdi dalem Keraton Solo ini.

Senada dengannya, motor Band Black Metal asal Jogja Nosferatu, Eitaz mengatakan, sebuah paham yang sungguh-sungguh, memiliki tujuan dan arah pergerakan yang tidak hanya mencari sensasi. Begitu juga dalam Satanisme dan ritual didalamnya.

“True Satanic itu seharusnya bersikap seperti umat beragama lain. Mau agamanya Kristian, Muslim, Budha, Hindu, ataupun Satanic. Manggung ya manggung, nge-band ya nge-band, berinteraksi selayaknya yang lain. Apalagi di dalam Thelema, Les Litanies Des Satan, atau bahkan Satanic Bibble, setahuku ngga ada yang mengatakan konser ato manggung itu sarana ibadah,” jelas Eitaz.

Terpisah, pentolan War Metal Rajam asal Madura Yayak mengatakan, tindakan ritual berdarah tersebut sudah tidak bisa dipertanggung-jawabkan, dan tidak jelas apa relevansinya antara ritual dengan keberadaan mereka sebagai musisi.

“Sebab setiap saya bertemu dengan band tersebut, mereka tidak pernah bisa menjawab pertanyaan seputar Satanisme atau ritual itu sendiri. Referensi mereka dalam bermusik kosong, dan terkesan hanya asal saja,” jelas penggemar motor Vespa ini. Pernyataan ini, sekaligus menjawab banyak pertanyaan tentang “ada atau tidaknya mediasi” antara pelaku ritual Satanisme dengan musisi Black Metal lainnya.

Dan lagi, seperti yang dipaparkan Shiva, selain lewat diskusi dengan pihak yang terkait, ada banyak cara untuk mengenali dan menggali alasan dibalik ritual yang menggunakan media darah hewan. Diantaranya, dengan mencermati prosesi dan cara yang digunakan untuk menemukan “kebenaran” atas tujuan yang diutarakan.

“Pertanyaan balik, bukankah agama-agama samawi juga melakukan ritual tahunan yang sama? Tetapi apakah ritual itu dilakukan untuk dijadikan bagian dari sebuah pertunjukkan? Artinya pada poin ini, kita semestinya sama-sama sepakat bahwa adegan atraktif berdarah di atas panggung, tidak diperlukan dipementasan Black Metal nasional kita,” lanjutnya.

Sementara itu, Keyboardis Thirsty Ov Blood Daniel Natjaard menegaskan, jika hal ini tidak segera mendapat perhatian serius, efek negatif terbesar kembali lagi pada eksistensi masyarakat Black Metal secara luas. Mulai dari hancurnya imej band Black Metal sebagai musisi berdarah, anggapan sebagai badut panggung, dan musisi yang “asal bunyi”.

“Dampak yang sangat mendasar dan mendalam adalah, semakin terpuruknya musisi Black Metal yang benar-benar serius dalam hal visi misi, juga bertanggung jawab dengan karya-karyanya, dikarenakan penilaian miring dari masyarakat sekitar, maupun cibiran dari musisi-musisi dari genre musik yang berbeda. Termasuk tekanan dari pihak penyelenggara event yang notabene sudah terlanjur memvonis, bahwa Black Metal adalah Musik Setan yang norak dan sangat tidak direkomendasikan untuk naik panggung besar,” paparnya.

Dengan kata lain, ketika kita bicara tentang Black Metal, tuntutan terbesar bagi Anda sebagai musisi (apapun ideologinya), adalah kualitas, bobot materi dari apa yang ingin Anda sampaikan melalui karya nyata yang seharusnya menjadi titik fokus. Dan bukan sekedar aksi panggung tolol yang berbuah masalah konyol bagi penggiat Black Metal di Indonesia. [gc]


Black Metal Religi

 [ Penulis Abah Supriyanto pada Lost in Chaos #24]

Fenomena Black metal Religi sekarang mulai merebak di skena Black Metal Nusantara. Sebelumnya fenomena gerakan metal satu jari mulai berkembang di negeri ini, namun fenomena black metal religi ini cukup absurd, seperti minyak dan air berdasarkan pemahaman satu dan lainnya.

Black metal merupakan genre yang sudah kita ketahui , banyak muatan anti religi, secara singkat , blackmetal adalah salah satu dari cabang musik ekstrim yang mengusung tema kegelapan, kejahatan , paganis , pemberontakan yang kental di tiap hentakan musik dan lirik yang ada disana. Kadang banyak menempatkan blackmetal adalah sebuah lifestyle, mulai dari cara pandang, cara berpakaian sampai cara bertingkah laku yang semuanya bernuansa Jahat dan ejam. Apakah dengan menggabungkan nuansa religi yang cenderung damai, suci dan bersih dengan konsep musik kegelapan bisa berhasil ? Jawabannya ya, tapi dengan konsep musik lebih pintar, berekspresi dengan cerdas dan bertanggung jawab, baik dari sisi konsep, musikalitas, lirik dan komposisi musik yang dituangkan dalam karya musik mereka. Contohnya seperti yang diusung Restless sehingga pesan yang mereka sampaikan bisa diterima oleh masa dengan baik oleh orang awam sekalipun, tapi musik mereka tetap metal . Suasana peperangan dikemas dengan simfoni musik yang bisa dipadukan dengan tema musik reliji bisa menjadi sinergi yang positif. Pesan positif juga bisa disampaikan dengan konsep musik yang lebih keras seperti Saffar dengan nafas religius yang kuat di tiap liriknya.

Yang pasti bila kita ingin menggabungkan konsep musik blackmetal dengan tema religi, kita bisa menyimak mundur bertahun tahun ke belakang, fenomena ini dikenal dengan Unblack metal atau white metal  dengan konsep heavy metal, kita mengenal Stryper, konsep thrash metal ktia mengenal Believer, konsep Death metal kita mengenal Mortification, Black metal kita mengenal Horde, Crimson Moonlight , Vaakevandring dan Kekal merupakan pionir utama di sub genre ini. Dan untuk konsep musik yang lebih modern, kita mengenal Underoath. Tapi semua dikemas dengan baik dari musik, lirik,cover album sampai ke aktualisasi tampil di atas panggung. Personel dan musisi band band tersebut yang cenderung tidak banyak memberikan statement yg berkaitan dengan agama Mereka cukup berekspresi dalam lirik lagu dan tidak meberikan statement yang bernuansa intimidatif, agresif dalam wawancara dengan media atau statement lainnya. Inilah yang berbeda dengan fenomena blackmetal religi dan unblackmetal . Musisi unblack metal kebanyakan merupakan musisi yang cukup mumpuni baik dari sisi musikalitas yang tercermin dari sisi musikalitas, cara  menulis lirik, sampai representasi dalam bentuk artwork . Mereka berusaha menyampaikan dengan cara lembut, hanya lirik mereka yang bernuansa positif .

Hal ini cukup kontradiktif dan berbeda dengan blackmetal religi yang banyak mengumbar statement di media sosial namun minim karya. Bahkan sepintas gimmick yang kita lihat juga sedikit absurd dimana kadang menggunakan full corpespaint tapi juga menggunakan atribut religi mereka.  Corpsepaint merupakan representasi dari musik kegelapan dan banyak digunakan sebagai alterego dari musisi itu sendiri, ketika seorang musisi menggunakan corpsepaint , maka itu merupakan representasi dari sisi gelap nya , manifesto itulah yang dia tampilkan selama di panggung. Setelah itu dia kembali menjadi manusia biasa yang hidup bermasyarakat dan menjadi makhluk sosial yang mungkin siapa tahu dalam keseharian jauh lebih relijius dibanding para musisi blackmetal religi tersebut.

Fenomena blackmetal religi ini semakin menguat ketika banyak musisi blackmetal mengalami kegalauan luar biasa, dimana konsep musik black metal ini banyak tidak diterima di skena musik secara umum, tapi mereka ingin tetap mengaktualisasi diri dalam skena musik. Faktor ini juga yang mendorong mereka untuk banting setir mengusung tema religi , dan tak jarang masih menggunakan nama band lama mereka, yang sebenarnya sangat kontradiktif dengan tema religi itu sendiri. Bahkan tak jarang juga statement statement mereka mengundang kontroversi yang justu hal itu menurut penulis, sengaja ditampilkan agar menjadi trending topics atau pusat perhatian saja .

Pesan kedamaian yang disampaikan tidak perlu berapi api dalam setiap statement atau dalam lagu,kalau kita ingin mengangkat nilai positif dari tema yang akan disampaikan. Pesan perdamaian juga berlaku bagi semua orang, karena musik adalah bahasa universal. Nilai inilah yang bisa kita ambil dari band Israel yaitu Orphaned Land. Orphaned Land adalah contoh yang baik dari musisi dengan tema perdamaian dan mengenyampingkan nuansa religi atau kebencian bahkan peperangan yang sebenarnya bertolak belakang dengan pesan kedamaian dalam setiap agama yang ada.

Jadi fenomena blackmetal religi ini hanya fenomena sesaat atau kontinu menjadi sesuatu yang besar ? Hanya waktu yang bisa menjawab, karena mental bangsa kita yagn cenderung musiman, ketika musim A lagi trend, banyak yang ikut trend tersebut tanpa mengikuti esensi dari apa A tadi.  Dasar atau fundamental yang berbasis minyak dan air , jika dipadukan tentunya tidak akan menyatu, itulah yang bisa penulis sampaikan , Absurd.





Indonesian Black metal : a retrospective
 [ Penulis Abah Supriyanto pada Lost in Chaos #24]
Musik adalah bahasa universal dan menjadi bahasa umum dalam transformasi dan akulturasi budaya. Metal pada umumnya secara global memberikan peranan penting dalam perkembangan industri musik keras di dunia dengan segala pernak pernik intrik konflik sosial di dalamnya. Para remaja di tahun dasawarsa 80’an akhir akan banyak menggandrungi musik glam rock atau heavy metal. Begitu pula dengan remaja di awal era 90’an banyak terinspirasi dengan musik yang lebih keras, apakah itu thrash metal atau old school death metal. Seiring dengan derasnya arus globalisasi dan kala itu banyak ditunjang dirilisnya kaset kaset genre blackmetal era awal seperti Bathory, Darkthrone, sampai Dimmu Borgir menjadikan inspirasi bagi penggiat skena metal di Indonesia untuk membuat era baru kegelapan di skena musik nusantara.

Skena musik underground nusantara mulai berkembang di tahun 94-an dengan mulai banyaknya band band bernuansa kegelapan di nusantara, walau masih bermusik secara death metal, namun Grausig, Zalzalah , Sacrilegious dan Zalnabur menjadi cikal bakal berkembangnya musik ini di Jakarta  juga Bandung dan sekitarnya. Media broadcast seperti Radio memegang peranan penting dalam perkembangan musik Black metal di Nusantara , seperti radio GMR di bandung yang memiliki jam jam khusus memutar demo demo dari band lokal . Hal ini lah yang memicu berkembangnya skena musik blackmetal dalam negeri dengan mulai ramainya band band mengeluarkan demo  album mereka, baik dirilis sendiri atau bergabung dengan sebuah label blackmetal tertentu, tercatat kala itu label RA production , THT Production dan Dark banner production adalah label yang cukup produktif untuk merilis khusus band band dengan nuansa black metal lokal.

Rilis awal band blackmetal nusantara masih bernuansa death metal dengan digabung lirik nuansa mistis, yaitu Sacrilegious dan Legion Lost , (kemudian dikenal dengan nama Mystis). Band blackmetal lokal yang benar benar memainkan musik karakter blackmetal yang raw, grim, kasar dan gahar pertama kali adalah Ritual Orchestra dengan demo 6 lagu, yaitu “Satan in my Embrace “ yang dirlis oleh Mindblast Malang di pertengahan tahun 1996 , beberapa lagu yang masuk ke dalam demo tersebut, direkam ulang untuk dikemas menjadi full album pertama mereka yaitu Seeking Immortal di akhir tahun 1997. Tercatat juga di tahun 1997 , rejim black metal nasional kembali diramaikan dengan dirilisnya Under a Veil of Religion milik Dry dengan sound yang lebih kasar dengan inspirasi konsep musik blackmetal yang kencang dan tanpa ampun. Dua band di atas ( Ritual Orchestra dan Dry ) terinspirasi konsep blackmetal yang dimainkan dengan kasar, kejam ala Marduk dan Immortal. Konsep musik Black metal dengan simfoni kegelapan dengan musik lebih membius dan melodius , disajikan oleh Perish dengan “From the Rising Dawn” , dan copy dari Cradle of Filth asal bumi parahyangan – Crusade yang menelurkan The Darkness call my name di tahun 1998.  Sehingga boleh disebut band band diatas memberikan landmark, atau pijakan penting di era gelombang pertama blackmetal Nusantara.

Gelombang pertama blackmetal nusantara juga timbul dengan adanya akulturasi dengan budaya lokal, tercatat rilisan yang menjadi landmark di kelompok ini adalah Makam dari Solo dengan demo Sympathy for the beast yang cenderung masih kasar dan nuansa javanese black metal belum ter-representasi dengan baik, juga demo milik Sacrifice - Kidung Waringin Sungsang di akhir era 90-an menegaskan bahwa era baru akulturasi musik blackmetal dengan budaya lokal makin mengerucut dalam konsep musik, artwork album dan tak kadang dalam aktualisasi di panggung. Generasi gelombang pertama musik blackmetal nusantara ini, akhirnya berhasil dipertajam konsep akulturasi ini dengan rilisan Iconoclasm “Sesaji Kidung Pamungkas, “, dan Makam “ Makabre Amuletha”. Konsep musik metal dengan memadukan budaya dan kearifan lokal ini juga dipakai oleh Santet lewat Mahar hutan larangan, sebuah landmark musik blackmetal nusantara yang dengan sangat baik menggabungkan konsep musik simfoni blackmetal dengan not not musik pentatonis gending lokal.

Blackmetal nusantara juga memiliki landmark penting dalam perkembangannya yaitu dengan adanya album kompilasi ,sehingga para penikmat di kalangan skena bisa mengapresiasi band band lama dan baru yang berkecimpung di skena dan kadang juga ditambah dengan partisipasi band manca negara . Tercatat album kompilasi penting diawali oleh kompilasi Neohelist yang dirilis oleh label Extreme Souls Production,Bandung  ditambah Kompilasi Legion Timur oleh Rotorcorp menjadikan musik blackmetal di akhir 90 dan awal 2000 memberikan warna tersendiri dalam pergerakan musik metal dan underground di nusantara.

Dengan berkembanganya musik blackmetal di nusantara, tidak diibangi dengan pengertian dan pemahaman yang umum mengenai musik blackmetal ini, yang akhirnya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk mengambil keuntungan walaupun akhirnya mengakhibatkan mati surinya perkembangan musik blackmetal di tanah air dengan memuat judul "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Memang pemahaman umum bahwa musik blackmetal erat hubungannya dengan Satanisme atau Pemuja Setan, liputan dan wawancara dari tabloid adil yang cenderung menyudutkan para pelaku dan penggiat musik blackmetal tanah air , mengakibatkan imbas dan efek yang cukup luar biasa ditengah semarak dan produktifitas para penggiat skena. Para penggiat skena blackmetal tampak takut untuk berkarya, karena seolah sudah ada cap di dahi mereka “ SATANIS”.

Perlahan namun pasti, skena blackmetal tanah air kian meredup seiring dengan banyaknya isu miring dan konflik di internal band, yang mengakibatkan banyak band memutuskan untuk vakum dan ada pula yang banting setir menjadi penggiat genre death metal, baik dari secara personal atau dari konsep musik band tersebut yang berubah total. Dan secara perlahan pula ada sebagian orang yang mulai bangkit dari keterpurukan tersebut dan mulai menelurkan karya karya mereka . Tercatat oleh penulis, di tahun 1999, Santhet dari Malang adalah yang pertama merilis album “Dark art from East Java” yang merebut momentum kebangkitan penggiat logam hitam nusantara. Sementara itu amunisi kejam lainnya dimuntahkan oleh Neurotic of Gods lewat the Night Domination di tahun 2000.

Lambat laun skena musik blackmetal nusantara yang seakan akan menghilang di awal tahun 2000 sampai sekitar tahun 2007, menemukan titik balik kembali, seiring dengan adanya arus globalisasi lewat media sosial, yang banyak mempertemukan kawan kawan lama, dan momentum untuk reuni kembali pun akhirnya banyak dimanfaatkan oleh band band yang telah lama vakum, sebenarnya bukan hanya skena blackmetal, tapi skena death metal pun banyak terimbas oleh media sosial ini.  Salah satu momen yang bisa penulis catat adalah statement band yang pada tahun 2009 cukup kontroversial, yaitu Melody Maker dimana band ini pernah berujar di media asing , pernah melakukan tour dengan Arch Enemy, sontak skena metal nasional cukup geger akibat kebohongan ini , yang pada kenyataannya mereka hanya diberikan slot sebagai band pembuka Arch Enemy di Jakarta. Akhirnya band yang sempat dilabeli sebagai “ dimmu borgir nya Indonesia “ ini akhirnya memilih untuk mengubah konsep dan image mereka menjadi metal religi.

Tahun 2008  bisa dikatakan sebagai tahun kebangkitan skena Black metal indonesia generasi / gelombang ke dua. Banyak band band baru bermunculan dengan semangat baru, walau personel nya masih orang orang lama, atau band band baru yang segar dengan ide baru , konsep bermusik baru yan g benar benar memberikan darah segar bagi skena musik kegelapan di nusantara. 2 Nama yang patut diperhitungkan , yaitu Bvrtan dan Vallendusk. Bvrtan lahir dari ide iseng Pakde Zul dan Nico yang dulu aktif di Sickmath untuk mengggagas konsep musik ala Burzum dan Darkthrone, blackmetal dengan lo-fi dengan tema lirik kerakyatan, pertanian dan tema sosial kemasyarkakatan yang bersifat lebih membumi di negeri ini. Lewat Pacvl kegelapan nya mereka melahirkan beberapa album dan mini album yang cukup fenomenal sampai kini. Vallendusk  di sisi lain memberikan arahan bahwa musik post blackmetal bila digarap dengan sangat serius bisa mendunia dan inilah bentuk paling sempurna dan tepat musik blackmetal nusantara sampai kini. Vallendusk bisa merepresntasikan konsep alam, tema kegelapan dan komposisi musik yang cukup rumit namun ‘easy listening’.

Seiring dengan banyaknya panggung dan gigs bertaraf internasional di Indonesia yang mengundang band band blackmetal, hal ini juga mengubah paradigma dan mindset para pelaku dan penggiat logam hitam di Indonesia menjadi lebih terbuka, namun tak jarang juga yang masih berkutat bagai katak dalam tempurung. Blackmetal nusantara kini tengah memasuki era baru, yang bisa saya katakan sebagai era 2nd wave of Indonesian Blackmetal dengan berbagai warna warni konsep musik di dalamnya. Semoga hal ini menjadi trend yang positif dan kembali para musisi harus memberikan karya yang cerdas ,berkualitas dan bertanggung jawab, sehingga bisa mendidik para penggemar mereka agar lebih kritis dalam menilai karya mereka secara kualitatif.

0 komentar:

Posting Komentar