Jumat, 04 September 2015

[2ndLD]

...Vini, Vidi, Fibonacci!...
 
Mari berkenalan dengan Angka Fibonacci. Konsep matematika yang akan mengenalkan Anda pada sebuah frasa unik, "bagaimana matematika terhubung ke hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan". Seperti alam, sejarah, dan tentu saja, musik.
 
Angka Fibonacci adalah rangkaian angka yang diperoleh secara berurutan. Misal 0,1,1,2,3,5,8,13,21,34,55,89,144, dan seterusnya. Cara menyusunnya, dimulai dari 0 + 1 = 1, 1 +1 = 2, 2 + 3= 5, 5 + 3 = 8, dan seterusnya. Kalau Anda kerap mengikuti psikotes, nah, biasanya, metode ini kerap dimunculkan.
Dalam musik, Fibonacci sangat mudah dikenali oleh pianis. Perhatikan angka Fibonacci ini : 1,2,3,5,8,13. Kalau diterjemahkan dalam bahasa musik, angka 13 adalah representasi dari jumlah nada dalam satu skala. Angka 8 menjelaskan jumlah nada dalam satu oktaf. Angka 8 mewakili jumlah nada dalam tangga nada diatonis, sementara angka 5, adalah jumlah nada dalam tangga nada pentatonis. Angka 1 (semi tone) dan 2 (whole tone) adalah nada-nada yang dibutuhkan untuk memainkan tangga nada diatonis.
Metode Fibonacci ini, bisa juga diaplikasikan sebagai perpindahan kunci. Patokannya : 1 -   2 -  3 -  5 -  8 = C - C# - D - E - G. Ini bisa Anda temukan dalam  "Music for Strings Percussion and Celeste" karya Bella Bartok, yang menggunakan interval 1 : 2 : 3 : 5 : 8 : 5 : 3 : 2 : 1.
Harun Yahya mengatakan, angka Fibonacci memiliki satu sifat menarik. Jika Anda membagi satu angka dalam deret tersebut dengan angka sebelumnya, akan Anda dapatkan sebuah angka hasil pembagian yang besarnya sangat mendekati satu sama lain. Nyatanya, angka ini bernilai tetap setelah angka ke-13 dalam deret tersebut. Angka ini dikenal sebagai "golden ratio" atau "rasio emas", atau kerap dilambangkan dengan Phi (=1,618...)
Rasio emas, yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti, jumlah rasio kuantitas terbesar = jumlah rasio kuantitas terkecil. Bingung? Sama! Tapi ketika diaplikasikan ke musik, segalanya menjadi terang dan tebal.
Kalau Anda memainkan tangga nada C# (rasio terbesar), maka Anda akan menemukan, notasinya kembar identik dengan tangga nada Db (rasio terkecil). Lambang # (kres) yang diartikan, naik setengah nada, masuk dalam wilayah rasio jumlah kuantitas terbesar. Sementara lambang b (mol), yang turun setengah nada, direpresentasikan sebagai rasio jumlah kuantitas terkecil. Pun halnya dengan Dis = Es, Fis = Ges, Gis = As, Ais = Bes. Inilah yang disebut sebagai rasio emas dalam musik.
Sementara Mario Livio, dalam "The Golden Ratio : The Story of Phi, The World's Most Astonishing Number", mengatakan, rasio emas tidak hanya laku keras di dunia matematika, tapi juga dikonsumsi oleh biologis, sejarawan, arsitek, psikolog, musisi, termasuk penggiat ilmu nujum. Singkatnya, rasio emas, menginspirasi semua disiplin ilmu.
Anda yang kebetulan terdaftar sebagai musisi klasik, pasti tidak asing dengan karya Bella Bartok yang disebut di awal-awal paragraf. Dalam komposisinya, Anda akan menemukan adanya perpindahan kunci mengikuti pola Fibonacci. Wajar saja, sebab Bartok sudah melakukan analisa angka-angka Fibonacci ini, dan dipraktekkan dalam karyanya. Termasuk juga Chopin, yang mengenalkan nada-nada mahal "Nocturne", juga mendasarkan karyanya pada angka Fibonacci.
Musisi metal pun ternyata melakukan hal yang sama. Tool, grup band yang kerap diasosiakan sebagai band yang kental dengan nada 'nylekit' dan tempo yang nggantung ini, sudah melakukannya di "Lateralus". Termasuk juga "In Rainbows" milik Radiohead.
Singkatnya, masih ada banyak kemungkinan yang bisa Anda gali dari soal hitung menghitung ini. Siapa tahu, usai membaca artikel ini, Anda yang menobatkan diri sebagai 'ksatria gitar berhitung', tidak ada salahnya mengutak-atik rumus volume kubus, atau malah mencatatkan diri sebagai salah satu musisi 'Fibonacci'. Seperti yang diungkapkan Tom Yhorke “If you're really, really, really, really stuck for something to do, you could always read up about that theory [golden ratio]". Happy Calculating! [gc]

Kamis, 03 September 2015

[ 2ndLD ]

Kita Masih Mengulang Masalah Yang Usang!

RESPECT, adalah tentang bagaimana seseorang ingin diperlakukan, dengan melihat dari bagaimana ia memperlakukan orang lain dan dirinya sendiri. permasalahannya, tidak semua orang [terlepas dari faktor usia juga intelejensi] mampu memahami, bahwa respect sangat erat terekat dengan ATTITUDE.

Sebab permasalahan yang kerap terjadi, adalah tingginya permintaan akan respect terhadap diri tanpa menyertainya dengan lembaran attitude yang sama kadar nalarnya. Ya, nalar yang tidak ada nalarnya inilah yang kami sinyalir sebagai salah satu faktor mengapa diluar ingar-bingar skena bawah tanah di Indonesia, sebenarnya tengah berdiri kokoh sekolah terbodoh sebab diisi dengan pembodohan lengkap dengan kurikulum yang sama bodohnya.

Bagaimana tidak? Tuntutan agar dihormati [kalau tidak boleh disebut gila hormat-red], adalah masalah yang sebenarnya sudah terlalu berkarat, karatan. Tanpa ada satu upaya yang membebaskan. Lucunya, penjungkirbalikan makna “respect” itu bermula, ketika seseorang [atau sekelompok orang] merasa dirinya “senior”, lantas membuat bias makna “freedom”, “pemberontakan”, yang dengan gagahnya berkibar, mengundang siapapun yang tergerak, terpanggil, pada mereka masih malu-malu berdiri dipinggirannya.

Dan hal yang paling menyedihkan, ketika kita sibuk berkarya, menyuarakan suara-suara hati lewat karya, ada sebagian besar lagi yang menghadapi ancaman “pembunuhan” karya. Ini, jika tidak rajin-rajin menjilat, mengamini apa kata “senior”, yang sayangnya juga, Sang Senior hanya mampu menghasilkan karya-karya yang ompong.

Sebabnya apalagi jika bukan doktrinasi sempit, menjepit langkah sebuah pergerakan yang berujung pada kebangkrutan sebuah skena. Doktrinasi yang mengajarkan bagaimana menuhankan para senior, dan Sang Senior yang juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kami sebut sebagai bentuk pembodohan yang dimaklumi, saking sudah terjadi lama sekali.

Sebentar, kami tidak sedang mengadakan generalisasi. Kami mendasarkan pernyataan tersebut berdasarkan observasi acak yang kami lakukan di lingkup skena bawah tanah yang kecil, terpencil, juga yang lama tak terdengar, lantas buyar. Amblas. Bahkan mungkin juga sedang terjadi di skena Anda saat ini.

Kami berangkat dari satu titik tolak pengertian, bahwa jika pergerakan lingkup bawah tanah adalah tentang bagaimana terus bergerak maju ke depan, artinya dibutuhkan sinergitas antara tingkah laku dan tuntutan untuk dihormati, diantara dua kubu ini untuk melebur menjadi satu koloni.

Itulah yang mendasari kami ketika menurunkan artikel ini. Murni sebagai sarana untuk Anda [siapapun dan di sisi manapun Anda berdiri] untuk mengikis kerak yang lama mengerak dalam kepala. Tujuannya sederhana saja. Bukan untuk merebus emosi Anda hingga ke titik didih tertinggi, hingga melakukan hal-hal yang sama bodohnya dengan kebodohan, pembodohan yang sudah terjadi sangat lama.

Singkatnya, kami mengajak Anda yang baru saja menceburkan diri dalam belanga besar bernama “Underground” untuk lebih bijak, ketika mengkritisi situasi yang mungkin terjadi serupa di skena Anda. Lakukan dengan attitude yang cerdas agar hasilnya tidak semakin membuat suasana semakin beringas, panas.

Kami sangat tidak menyarankan Anda untuk meludahi kontribusi para pendahulu yang memang benar-benar berjasa bagi kemajuan skena di tempat Anda berdiri saat ini. In fact, adalah sebuah KEHARUSAN bagi Anda untuk tetap menghormati mereka para senior. Sebab ada fakta lain yang tidak bisa Anda anulir begitu saja. Masih banyak para senior yang tidak gila hormat, ataupun bertingkah, kebanyakan tingkah. Artinya, Anda hanya perlu lebih cermat mencermati.

Pun halnya bagi Anda yang berada di era tertentu yang saat ini menempati singgasana Kasepuhan, cermati dulu langkah apa saja yang akan Anda terapkan ketika Anda ingin dihormati, dihargai. Sebab cara-cara represif hanya akan menunjukkan, bahwa Anda tak lebih dari penghuni Panti Jompo yang sedang haus perhatian. [gc]




Bahaya Laten itu Bernama Stagnansi

Sejumlah kalangan berpendapat, kemunculan sejumlah karya Logam Hitam Indonesia di awal tahun 2013 ini, seolah menjawab ribuan pertanyaan dalam waktu yang bersamaan. Utamanya yang terkait dengan persoalan eksistensi, pergerakan juga dedikasi diri terhadap Black Metal. Tidak sedikit juga yang mengatakan, ini baru langkah awal. Masihlah panjang dan banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Salah satunya adalah dengan melakukan perubahan dalam sebuah pergerakan. Sebagai langkah awal, adalah sikap dewasa non arogansi tolol yang akan sangat Anda perlukan di sini.
“Boleh jadi munculnya album baru dari band lawas menandakan bahwasannya mereka ingin meramaikan kembali scene Black Metal tanah air yang mulai menunjukkan gejala stagnansi [ini bisa dilihat dengan munculnya band-band baru dengan standar musik itu-itu saja, juga pola pemikiran yang menganggap bahwa Black Metal itu pakemnya kalau tidak Cradle of Filth ya Immortal, dan tidak melihat bahwasannya Black Metal sudah berkembang sedemikian pesatnya].
Dengan munculnya band-band lama tersebut diharapkan mampu mendongkrak semangat band-band baru agar lebih produktif dan variatif dalam berkarya. Sebab jika mengeluarkan album baru tetapi dengan musikalitas yang itu-itu saja, malah membuat bosan karena minimnya variasi yang bisa ditawarkan sebuah band,” kata Pengamat serta kolektor karya Black Metal  Miftachul “Mehkaget Musick” Munir.
Senada dengannya, Shiva Ratriarkha of Makam juga mengatakan, penggiat Logam Hitam tanah air masih perlu melakukan banyak perbaikan. “Memang perlu waktu, extra energi, pikiran dan pendanaan yang memadai untuk mengubahnya. Sebut saja dari penggiat yang aktif dan konsisten di jalur BM, idealnya yang dibutuhkan hanyalah kejujuran, kesadaran diri, keberanian, kemampuan dan ketetapan hati. Tanpa kondisi kesiapan awal tersebut di atas penggiat BM tentunya akan cukup mengalami kesulitan kedepannya untuk selalu memberdayakan proses berkreasinya,” urainya.
Namun demikian, Shiva juga menegaskan, metalhead yang dikondisikan atau pada posisi sebagai bagian dari massa penikmat sangat dimungkinkan untuk terlibat dalam pemberdayaan local metal scene. “Sebab penonton yg teredukasi dengan baik tentu akan berdampak langsung kepada tata kelola penyelenggaraan event-event metal di kemudian hari. Artinya, animo penonton beserta antusiasitasnya mampu memberikan efek domino kepada penggiat Black Metal, penyelenggara hingga media. Jika kondisi yang demikian telah terjadi maka diharapkan gema dan gelombang “efek ledakan“ produktivitas ini akan selalu terjaga.
Ini tentu saja sejalan dengan apa yang disampaikan Owner Ludah Production Ashadur Roffek. Utamanya ketika para metalhead ini gencar menyuarakan “support your local music” di ragam cara sebagai bentuk apreasiasi mereka terhadap dedikasi para penggiat. Menurutnya, bicara bentuk apreasiasi tidak cukup dengan hanya mengumbar ludah. Harus juga disertai dengan aksi nyata macam membeli CD, artwork, merchandise yang ditawarkan penggiat.
Terakhir, coba simak juga apa kata Miftachul “Mehkaget Musick” Munir. “Kalau saya, sebagai penikmat, simple saja. Kalau ada rilisan album yang bagus menurut saya, ya saya akan support dengan membeli album tersebut. Dan juga tentunya peran serta label sangat membantu, dimana sirkulasi beredarnya rilisan fisik dari band yang bersangkutan. Apalagi kalau label tersebut juga mempunya jaringan yang luas, bekerjasama dengan label-label di luar. Sehingga karya anak bangsa bisa juga didengar didengar sampai di luar sana,” tuturnya.
Singkatnya, bahaya laten stagnansi sebuah kultur musik,TIDAK BISA DIBEBANKAN PADA SATU PIHAK [baca : penggiat]. Itu kenapa dari awal kami membutuhkan sikap dewasa non arogansi tolol dari semua pihak yang terkait. Baik itu penggiat, penikmat, siapapun agar perlu mengedepankan kesadaran diri untuk terus melakukan edukasi, inovasi dan kesadaran tinggi bahwa kita saling terkait, terikat.
Untuk penggiat tentu saja tidak asal bertelur, namun telur busuk yang ditawarkan. Persis seperti apa yang dikatakan Erwan “Dimenthron” . “Jika di tanah sana [Eropa] para penggiat Black Metal lebih suka dikatakan pejuang [Warriors] daripada musisi, selayaknya para penggiat Logam Hitam di tanah air menjadi pejuang yang sebenarnya”, tegasnya.
Sementara untuk penikmat,tentu diharapkan  tidak asal meminta-minta [jika tidak boleh dikatakan mengemis-red] barang berkelas namun dengan cara-cara yang sangat tidak berkelas. “Jangan hanya modal mengunduh gratisan dong!,” tutup Ashadur Roffek of Ludah Production. [gc]




…Pagan Metal, A Sound from Ancient World…

It's more about the lyrics than the music. Begitu kata Heri Joensen - vocals, guitar Tyr. Berangkat dari quote sederhana itulah, kami melacak banyak hal yang ingin kami bagi untuk Anda.

Kenapa pagan metal? Karena di Indonesia, masih banyak yang menggambarkan secara secuil, soal pagan metal. Imbasnya, selain sikap skeptis, tidak sedikit yang melihat pagan metal sebagai aplikasi budaya mistis. Ini yang kami sebut tragis. Itu mengapa, kami maklum, di luar persoalan “tidak mau atau tidak bisa”, Indonesia cuma punya segelintir band yang cukup bertanggung-jawab dan bisa dipertanggungjawabkan ketika mereka bicara tentang Pagan lewat karya.

Secara singkat, Pagan Metal merupakan sub-genre heavy metal music. Hasil peleburan antara extreme metal dengan tradisi pra-Kristian, dengan kultur spesifik, atau wilayah dengan konsep tematik, dengan bebunyian khas tradisional lainnya. Kerap dihubungkan Viking atau Folk Music.

Tapi, soal relasi antara pagan metal dengan folk metal, sampai sekarang, tidak ada rumus pasti yang memisahkan dua unsur itu. Ada yang bilang, sebuah grup bisa dikatakan pagan metal, dengan mengacu kekuatan liriknya. Sementara folk metal, kami lebih melihat dari varian instrumennya.

Jarkko Aaltonen basis Korpiklaani mengatakan, grup band yang mengangkat tema soal Viking, atau simbol kuno lainnya, bisa dikatakan sebagai Pagan Metal. Tidak peduli apakah ada instrumen musik folk dalam karyanya.

Yang menarik, ketika bicara musik, tidak satupun yang membahas soal perilaku manusia didalamnya. Melulu soal musik dan perangkatnya. Sehingga kami berkesimpulan, Pagan Metal tidak ada kaitannya dengan Paganism. Sebab Pagan Metal lebih mengacu pada bentuk ekspresi musisi extreme metal. Pagan Metal, merupakan cara mereka mengapresiasi budaya pagan.

Sebab terlepas dari genre yang dimainkan, paganism, murni merupakan pilihan pribadi personil didalamnya. Sama halnya dengan satanis. Tidak semua personil sebuah grup band satanis, benar-benar menghayati diri sebagai seorang pelaku satanis.

Tema pagan sebenarnya sudah mulai dieksplorasi musisi metal era tahun 70-80an. Sebutlah Led Zeppelin dan Manowar. Bahkan Bahkan Jarkko Aaltonen menyebut Black Sabbath “mendekati pagan”. Termasuk juga Bathory, Enslaved, Amorphis dan Skyclad.

Soal siapa grup band pertama kali yang benar-benar mengusung Pagan Metal, tidak ada kesepakatan. Chrigel Glanzmann vokalis Eluveitie (Swiss) menunjuk Skyclad (Inggris, 1990) sebagai pionir pagan metal. Heri Joensen menunjuk Bathory sebagai pemicu pelatuk. Sementara Mathias Nygard vokalis Turisas (Finlandia), menyepakati Amorphis sebagai pionir pagan.

Terlepas dari masalah siapa pionirnya, Pagan Metal sebenarnya baru benar-benar meledak di 2009. Sampai-sampai, Mikael Karlbom gitaris Finntroll (Finlandia) merasa Pagan Metal tidak bukan hanya sesuatu yang disebut banyak orang sebagai trend semata. Pagan Metal juga mulai dikenal lewat Paganfest 2008 lalu. Yang belakangan, para performers-nya dituduh sebagai pelaku neo-Naziz dan Fasisme oleh akademisi Berliner Institut für Faschismus Forschung.

Ville Sorvali vokalis dan pemain bass Moonsorrow dan Heri Joensen (Tyr) pun langsung membantah isu itu, dalam sebuah rekaman video. Disebutkan, persoalan bermula dari perkara penggunaan huruf “S” dalam logo Moonsorrow dan huruf “T” dalam logo Tyr. Padahal kedua huruf itu, diambil dari simbol Skandinavian Kuno. Tidak mengacu pada satu atau paham kekiri-kirian, seperti yang dituduhkan.

Sementara itu, Pagan Metal : A Metal Documentary, bisa jadi merupakan pionir dokumentasi pagan metal. Uniknya, album ini dibuat oleh Bill Zebub yang notabene berkebangsaan Amerika. Sementara pagan metal, lahir dan tumbuh di Eropa. Berbeda dengan dokumenter sejenis lainnya, dokumenter karya Zebub, tidak banyak mengulas rekam jejak pagan metal secara historikal. Selama dua jam, Anda akan diajak menggali isi kepala para pionir pagan metal, macam Finntroll, Ensiferum, Primordial, Leaves Eyes, Turisas, Tyr dan Korpiklaani. Simply googling down the DVD, or click http://www.billzebub.com.

Atau Anda juga memperkaya referensi lewat The Kalevala : The Epic Poem From Finland by John Martin Crawford. Buku setebal 377 halaman ini memuat kumpulan puisi yang dibuat penyair asal daratan Eropa. Dengan mempelajari prosa dan sanjak bangsa Finlandia Kuno, dari tataran bahasa, sosial, kehidupan keagaaman, setidaknya Anda mengerti, kenapa Finlandia, disebut sebagai bangsa pertama Eropa yang memengaruhi banyak negara. Termasuk Asia.

Sedikit gambaran, Finlandia (Finnish, Suomi / Suomenmaa, wilayah berpaya-paya) dengan segala keunikannya, memengaruhi perkembangan Gothic dan bangsa Islandia. Termasuk pagan metal. Kalau Anda ingin menyimak Wainamoinens Sowing, Umarinens, Lemminkainens Lament, dan karya indah lainnya, pastikan buku ini ada dalam daftar wajib baca bulan ini. [gc]





“Inner Circle”, Kisah Sejarah Yang Dijarah Mentah.


Sejarah panjang Satanisme d­i wilayah Black Metal Indonesia, tidak terlepas dari catatan pergerakan “Inner Circle” yang dipelopori Oystein Aarseth a.k.a Euronymous (Mayhem) sebagai orang nomor satu, dan Varg Vikernes a.k.a Count Grishnackh (Burzum) sebagai tangan kanannya. Bersama ke 12 anggotanya, termasuk Ihsahn, Samoth dan Faust (Emperor), juga Fenriz (Darkthrone), mereka memimpin komunitas Black Metal Norwegia melalui kelompok “Inner Circle”.

Ide mereka sederhana. Menyatakan perang terhadap Kristenisasi yang terjadi di wilayah Norwegia. Ini karena Kristen, yang notabene merupakan agama mayoritas di Eropa, dinilai berbanding terbalik dengan semangat mereka sebagai anak-anak Odin (Dewa Bangsa Viking). Kristen dianggap sebagai agama yang lemah, sementara mereka sebagai keturunan Viking, adalah bangsa yang menjunjung tinggi kekuatan.

Gagasan mereka kemudian diwujudkan melalui serangkaian aksi anarkis. Diantaranya tindakan pembakaran terhadap belasan gereja kuno yang menjadi simbol kebanggaan Kristen di Norwegia. Aksi tersebut, sontak mendapat kecaman internasional. Maka dari sanalah, mereka mendapat label sebagai penganut “Satanis”.

Kenyataannya, ideologi “Satanisme” yang dikembangkan di genre musik Black Metal di Norwegia, lebih mengacu pada semangat untuk mengembalikan budaya Pagan Kuno, termasuk kebangkitan budaya Viking. Artinya, Satanisme dalam konteks para prajurit logam hitam asal Norwegia ini, TIDAK SAMA dengan paham Satanisme ajaran Anton LaVey melalui “Church of Satan”-nya.

Masalah muncul di Indonesia, ketika terjadi pencampur-adukan ideologi Satanisme antara ajaran yang dikembangkan Anton LaVey, dan ideologi Satanisme yang berkembang di genre musik Black Metal Norwegia. Terlalu banyak ahli tafsir yang berbuntut pada wujud kedangkalan berpikir.

Yang kami lihat, para musisi Black Metal yang mengaku sebagai Satanis di Indonesia, hanya mencomot sepenggal “aksi hebat” Vikernes dan kawan-kawan ketika mereka membakar belasan gereja sejak 1992, termasuk penyerangan terhadap band-band metal yang tidak sepaham dengan mereka, atau yang dianggap sebagai kelompok “Outer Circle”. Kemudian melakukan pengembangan, dengan menggabungkan hal tersebut dengan ajaran “Church of Satan”.

Padahal, ketika Vikergnes ditangkap aparat atas kasus pembunuhan yang dilakukannya terhadap Eronymous (Mayhem), dengan tegas Vikernes mengatakan, dia bukan penganut Satanisme seperti yang dituduhkan banyak pihak. Tindakannya murni atas kesadaran diri, dan bukan karena terpengaruh ajaran “Church of Satan” Anton LaVey.

Dan yang perlu diketahui, Vikernes dan sebagian besar musisi Black Metal Norwegia, adalah penganut paham fasis sekaligus rasis. Artinya, mereka akan melakukan perlawanan dengan apapun yang berkaitan dengan keagamaan di luar budaya mereka, yang non Norway-Gemanic.

Artinya, Satanisme dan Black Metal adalah dua wilayah yang berdiri secara terpisah. Jika kemudian Mayhem, Burzum dan Darkthrone di akhir 80-an dan awal 90-an menggabungkan Black Metal dan “Satanisme” sebagai satu ikatan yang kuat, terkait satu sama lain, maka garis bawahi tebal-tebal, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebagai “way of life”. Bukan sekedar tempelan, dan diperjuangkan bukan tanpa alasan.
Termasuk aksi pembakaran salib di atas panggung, dan aksi lainnya yang “terkesan” seperti memuja setan. Sekali lagi, hal itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap agama Kristen, dan bukan sebagai ritual penyembahan terhadap setan.

“Satanic itu visi. Mau di munculkan atau tetap bertahan dalam hati, hal itu kembali pada kebijakan yang bersangkutan. Tapi menurutku, sebagai musisi, akan terlihat lebih bertanggungjawab jika hal itu dimunculkan dalam sebuah pesan lirik, daripada sensasi murahan diatas panggung. Ini tidak ubahnya seperti badut yang mencoba menakut-nakuti, tapi berada diantara orang-orang dewasa, yang notabene harusnya dilakukan terhadap anak kecil”, jelas personil Black Metal Jogja Nosferatu, Eitaz.

Terakhir, sedikit tambahan bagi Anda yang mengaku sebagai penganut Satanis, “Satanisme yang di-croping dan diperbandingkan dengan tindakan ritual darah di depan publik, adalah tindakan yang sangat picik dalam memahami sebuah kepercayaan, dan cenderung melecehkan satanisme itu sendiri”, tegas Tokoh Black Metal Solo, Shiva Ratriarkha. [gc/net]


[ Note From Hell ]
Words By : Autumn Reaper
Nietzsche, The Father of Metal Movement.


Bicara tentang Friedrich Nietzsche, tak lepas dari sudut pandang filosofisnya yang banyak menuai kontroversi, meski tak jarang juga yang mengurainya sebagai pencerahan. Tapi seberapa banyak yang tahu, jika tanpa pengaruh kuat dari pemikirannya, musik metal tidak akan seperti yang Anda dengar hari ini.
Ya, kedekatan Nietzsche dengan musik metal sangat kental terasa pada eksekusi karya yang dilakukan banyak musisi metal. Keduanya, sama-sama memiliki benang merah yang bermuara pada dua kata : Kontroversi dan Pencerahan.
Mari kenali lebih dekat dulu sosok Nietzsche. Filsuf asal Jerman yang lahir di abad ke 19 ini, tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang tertutup. Tapi tidak dengan pola pemikirannya yang cenderung radikal dan nyaris tidak mungkin dipahami lewat nalar yang sepotong, terpotong-potong. 
Salah satu pemikiran Nietzsche yang paling kontroversional, bahkan hingga detik Anda membaca artikel ini adalah, keberhasilannya memengaruhi siapapun yang membaca karyanya untuk melawan kelemahan iman buta dalam agama.
Yang paling kontroversional adalah ketika ia menyatakan bahwa Tuhan telah mati, “God Is Dead”, seperti yang tercantum dalam “The Gay Science” [Die fröhliche Wissenschaft]. Bagi para pemuka agama dimasanya, pernyataan Nietzsche jelas mengandung mutan bid’ah. Buku ini, sekaligus menjadi cikal bakal karya selanjutnya yang tidak kalah fenomenal “Thus Spoke Zarathustra” dan “Beyond Good and Evil”.
Mari kita dalami dulu cara pandang Nietzsche. Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Ia mengritik kebudayaan Barat dijamannya, dengan meninjau ulang semua nilai dan tradisi yang sebagian besar dipengaruhi pemikiran Plato dan tradisi kekristenan. Di mana, ia menganggap kedua hal tersebut mengacu pada paradigma kehidupan setelah kematian, yang membuat manusia menjadi pesimis. 
Walaupun demikian, dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Pemikirannya, bisa disebut anti-tesis dari paham nihilisme, dengan mencintai utuh kehidupan [Lebensbejahung], dan memposisikan manusia sebagai manusia purna [Übermensch], dengan kehendak untuk berkuasa [der Wille zur Macht].
Singkatnya, dia menantang logika untuk bekerja lebih giat, dan kemudian diselaraskan dengan keyakinan yang dimiliki. Tidak sekedar mengantungi “status beragama atau tidak beragama”, tapi sekaligus memiliki alasan yang kuat sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral. Kalau Anda beragama, tidak lantaran faktor “diturunkan, keturunan”, dan tidak beragama, bukan karena “sok-sokan”.
Maka tidak mengherankan jika Nietzsche kemudian dianggap filsuf paling berpengaruh dalam sejarah pergerakan musik metal. Jika dikaitkan dengan extreme metal, Anda bisa menemukan sinkronisasi diantara keduanya. 
Semangat perlawanan yang diendapkan Nietzsche inilah, yang  membawa extreme metal ke level yang lebih tinggi. Tidak hanya sekedar membebaskan diri dalam hal eksekusi tiap partisi, tapi juga sampai pada tataran keyakinan.
Tengok saja Celtic Frost yang menjadikan pernyataan Nietzsche “God Is Dead” menjadi sebuah judul lagu “Tottengod”, Vital Remains dengan “I Am Your God Now”, hingga At The Gates dan Dismember, dua band asal Swedia yang mengambil tema "Beyond Good Dan Evil".
Tapi, tidak ada genre metal yang lebih menghayati karya Nietzsche seperti Black Metal. Melalui kutipan “God Is Dead” inilah, kematian Tuhan kemudian diadopsi dan dijadikan landasan perlawanan terhadap kristenisasi yang mewabah di daratan Norwegia, sebuah negara yang menghasilkan pionir Black Metal paling berpengaruh di dunia. [Baca : “Inner Circle”, Kisah Sejarah Yang Dijarah Mentah-red].

Selain soal keimanan, dalam 'Will To Power', Nietzsche menunjukkan sifat dasar manusia tidaklah untuk bertahan hidup. Tapi menjadi kuat, dan mengakumulasikannya sebagai batu loncatan untuk keinginan sejati : kekuasaan atas orang lain. Nietzsche menunjukkan bahwa ide-ide seperti pertempuran dan peperangan adalah hal-hal yang akan dilakukan dengan cara suka rela oleh manusia untuk mendapatkan keinginannya.
Tema “Will To Power” yang jelas-jelas berarti genderang perang atas pertempuran demi pertempuran, sangat bisa ditemukan dalam sub-genre Black Metal lewat paham war-metalnya. Atau Anda bisa melongok pada Gorgoroth, Black Metal Band asal Norwegia yang disebut sebagai prototype sempurna apa yang ingin disampaikan Nietzsche lewat Antichrist (1996) dan Twilight of the Idols (2003).

Sayangnya, hanya sedikit dari pelaku Black Metal, bahkan di seluruh genre yang berada dalam wadah extreme metal di Indonesia tidak tahu menahu soal ini. Sedikit sekali yang mau bergeser dari paradigma yang ada, untuk membongkar batasan dalam diri dan membekali diri dengan artileri yang memadai. Dengan kata lain, jika Anda setuju bahwa metal adalah tentang mendobrak batas, lalu pertanyaannya, apanya yang didobrak jika pola pikir masih terkotak-kotak dan sekotak?
Cukuplah mengulik tentang sejarah musik metal, dan menjadikan itu sebagai senjata mutakhir yang bisa Anda keluarkan ketika berhadapan dengan publik awam. Hey, ini jaman teknologi nirkabel. Tinggal ketik kata kunci sejarah musik metal di mesin pencari paling dicari “google”, maka terjawablah pertanyaan remeh itu.
Logikanya, bagaimana mungkin masyarakat awam mampu melihat metal sebagai musik yang berkualitas, jika melulu mengedepankan kuantitas tanpa tahu seperti apa kuantitas yang berkualitas itu? Jadilah seperti apa yang diproyeksikan Nietzsche dalam karya-karyanya. Sosok yang kontroversional sekaligus mencerahkan. Yang tidak hanya memahami musik metal hanya sampai pada definisi “musik rusak”, tapi juga sebagai “kerusakan” yang bisa dipertanggung-jawabkan secara intelektual. Yeah, I Dare You! [r]


[ Note From Hell ]

…Black Is Metal Is Black ::: Words By Natjaard…
Jika Anda masih berpikir bahwa menjadi musisi Black Metal sama dengan artinya menjadi penganut Satanis, baca dulu tuntas artikel di bawah ini. Dan mari menertawakan kenaifan pemikiran yang selama ini terlanjur berkembang.
 

Satanisme dan perilaku yang tercakup didalamnya,  adalah hal yang selalu dikaitkan dengan musik Black Metal hingga saat ini. Entah siapa yang memulai, namun masyarakat bawah tanah seolah percaya saja tentang pengultusan itu. Seolah terjadi penyeragaman ide, bahwa menjadi musisi Black Metal itu haruslah seseorang yang Anti Tuhan.
Ujung-ujungnya, banyak masyarakat awam mencibir dan menganak-tirikan musik Black Metal hingga seolah tidak layak di dengar dan di kemukakan pada khalayak. Singkatnya, apakah semua musisi Black Metal haruslah manusia yang satanis, atau haruskah semua penganut satanis memainkan musik Black Metal?
Bagaimana bila ada seorang dukun santet yang kerap mengandalkan bantuan dari makhluk supranatural dan menggemari musik Campursari, apakah dukun tersebut juga bisa disebut musisi ataupun penggemar Black Metal?
Atau misalnya, ada seorang musisi Black Metal lokal yang memilih untuk tidak beragama namun percaya akan adanya Sang Pencipta, apa orang tersebut bisa dikatakan sebagai seorang satanis?
Di sini kami mencoba untuk mengupas tentang Black Metal secara singkat, dengan beberapa referensi yang dapat kami percaya, walaupun di sertai dengan segala keterbatasan yang kami miliki.
Tujuannya tak lain adalah mengklarifikasi estetika dan esensi Black Metal itu sendiri, mencoba perlahan-lahan meralat dikotomi tentang Black Metal adalah Satanis yang tercipta selama ini, khususnya di Indonesia . Lebih dari itu, kami ‘menuntut’ para musisi yang mengibarkan bendera Black Metal, agar dapat memberikan pertanggungjawaban atas genre yang dipilih itu.
Keberadaan Black Metal (sebagai genre) tak lepas dari nama VENOM, band Heavy Metal yang berdiri di Newcastle Inggris pada awal tahun 80. Awalnya band ini banyak terpengaruh oleh konsep musik band-band macam LED ZEPPELIN, BLACK SABBATH dan DEEP PURPLE.
Seiring perjalanan waktu, merekapun melakukan pendewasaan dalam konsep musiknya melalui penambahan tempo yang lebih cepat, distorsi gitar yang lebih bising dan perubahan pada karakter vokal.
Band yang digawangi Cronos, Mantas dan Abaddon inilah, yang nantinya dipercaya oleh kebanyakan musisi Black Metal maupun musisi Non Metal, sebagai band New Wave Of British Heavy Metal. Melalui album Black Metal yang dirilis pada tahun 1982, mereka diamini sebagai gelombang pertama dari lahirnya genre Black Metal.
Pada saat yang hampir bersamaan, para kampiun Metal di tempat lain juga mulai bermunculan. Sebut saja BATHORY dari Swedia yang memulai debut albumnya di tahun 1984, HELLHAMMER dan CELTIC FROST dari Switzerland, MERCYFUL FATE dari Denmark, SODOM dari Jerman dan banyak lagi.
Kelak bergemanya Black Metal ditandai pula dengan lahirnya band-band Black Metal di Norwegia seperti MAYHEM, BURZUM, DARK THRONE, IMMORTAL dan EMPEROR. Mereka juga kerap disebut sebagai band Black Metal gelombang kedua.
Namun, perlu dicatat, mereka (grup band di atas), pada dasarnya menganut paham Satanisme sebagai ideologi dalam bermusik. Tidak salah jika akhirnya muncul stigma sempit bahwa musik Black Metal identik dengan Satanisme, atau perlawanan terhadap kepercayaan tertentu.
Mari bergeser ke Swedia. Di Negara ini, tidak sedikit grup band terinspirasi scenes di Norwegia macam MARDUK, DISSECTION, DARK FUNERAL, LORD BELIAL, NIFELHEIM dan ABRUPTUM yang memiliki kharakter dan konsep bermusik yang sedikit berbeda satu sama lain. Tak jauh berbeda kondisinya di Finlandia, banyak bermunculan pula band-band yang mengusung Black Metal seperti BEHERIT dan IMPALED NAZARENE.
Jika diperhatikan, para musisi dari negara-negara yang berlainan tersebut memiliki ideologi berbeda satu sama lain. Kecuali Mayhem dan Marduk yang menancapkan satanisme sebagai ideologi bermusik, ternyata banyak group band Black Metal yang tidak melulu berkutat di satanisme.
Ideologi Nihilisme, Paganisme, Nasional Sosialis dan pemujaan terhadap dewa-dewa ala bangsa Viking juga mewarnai kancah musik Black Metal sepanjang perjalanannya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor referensi yang cukup kuat yang membuktikan bahwa Tidak Semua Musisi Black Metal menganut paham maupun gaya hidup Satanisme ataupun sebaliknya.
Sampai di sini, dapat kita tarik sebuah kesimpulan awal, bahwa sebenarnya genre adalah satu hal yang terpisah dari ideologi. Artinya, konsep musik sebuah band itu tidak mesti sama dengan konsep yang dipunyai band lain.
Sederhananya, Satanisme dan Black Metal adalah satu kesatuan terpisah yang berdiri sendiri-sendiri. Musisi Black Metal tidak secara keseluruhan mengusung konsep satanisme seperti yang acap kali kita dengar dalam pembicaraan masyarakat umum di warung-warung kopi, toserba, restoran, kios majalah, yang menganggap bahwa Black Metal adalah musik sesat, asal bunyi, tak layak dengar dan setumpuk cibiran bahkan cacian dan hujatan keras lainnya terhadap musik ini.
Ambil contoh band yang mengusung konsep Pagan Black Metal. Bisa dikatakan bahwa band tersebut adalah orang-orang penganut Paganisme yang memainkan musik Black Metal, atau bisa juga dikatakan sebagai musisi Black Metal yang membawakan ideologi Paganisme. Sangat jelas bukan, bahwa tidak ada kaitan dengan Satanisme sama sekali di sini.
Di lain pihak, apa pernah ada yang bisa membuktikan para penganut paham satanis macam Ku-Klux-Klan maupun sekte-sekte sesat lainnya, adalah penggemar musik Black Metal, ataupun sebaliknya?
Khusus di Indonesia, tahun 1995 menjadi cikal bakal berkembangnya Black Metal, yang dipioniri MAKAM, RITUAL ORCHESTRA, DRY dan HELLGODS. Patut diingat, mereka masih exist dalam karya dan jalurnya hingga saat ini.
Berkembangnya Black Metal sempat dibumbui dengan hal-hal ‘lucu’ dan kontroversial yang membuat musik Black Metal malah di vonis sebagai musik sesat. Misal, penyembelihan kelinci diatas panggung, pembakaran dupa dan kemenyan, dan hal-hal lain yang cukup mengundang sensasi juga membuat bulu kuduk bergidik.
Djiva Ratriarkha dan Julius Kamadathu dari band MAKAM pernah mengomentari hal ini dan menyikapinya dengan sangat bijak. Menurut mereka, dupa, kemenyan, setanggi dan ratus plus make up horor memang fenomenal dalam sejarah BM di tanah air. Ini baik, jika memang euforia hingar-bingar penampilan itu dilanjutkan dalam pola pikir dan attitude para pelakunya untuk mau belajar dan memahami philosofi tentang menjadi seorang Pribadi Black Metal.
Kesepakatan senada tentang fenomena itu juga datang dari Throne ‘RITUAL ORCHESTRA’, Lord Morgan ‘DRY’, Vaar Mossath ‘IMMORTAL RITES’, juga Van Dark ‘THIRSTY BLOOD’. Mereka meyakini bahwa adanya ritual itu tidak selalu berkaitan dengan apa yang ingin disampaikan dalam musik Black Metal.
Sudah saatnya, para penggiat Black Metal membekali diri dengan kematangan konsep dan keluasan wawasan sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam menyampaikan visi dan misinya.
Proses pembelajaran dan pendewasaan dalam konteks Black Metal sangat perlu dilakukan dengan berkesinambungan, sehingga nantinya akan mengikis pemikiran tidak penting yang menempel lekat dibalik jubah besar Black Metal.

Rabu, 02 September 2015

[ 1stLD ]

...Rahim Musik itu Matematika...
 
It is perhaps even more surprising that music, with all its passion and emotion, is also based upon mathematical relationships. Such musical notions as octaves, chords, scales, and keys can all be demystified and understood logically using simple mathematics - Galileo Galilei
 
Secara konsep, memang, Anda terdengar hebat dan gagah ketika mencelupkan karya dalam belanga matematika. Masalahnya, tidak semua musisi yang mengedepankan konsep matematika, paham betul, apa makna dan fungsinya, kecuali sebagai 'produk', 'tempelan', 'perangkat', 'tidak mutlak'. Padahal, matematika tidak sekedar 'hanya'. Matematika adalah rahim yang menampung segala macam jenis dan bentuk sperma. Salah satunya adalah musik.
Sederhananya, tidak banyak yang menyadari, bahwa ada ikatan jelas antara matematika dan musik. Salah satu hal menonjol yang bisa kami tangkap dari kesimpangsiuran itu, adanya tumpang tindih pengertian antara 'tempo' dan 'ketukan'. Idealnya, ketika Anda berbicara soal 'tempo', maka yang dibahas adalah berapa kecepatan yang dibutuhkan. Sederhananya, tempo = piano (lambat), moderato (sedang), allegro (cepat) dan seterusnya.
Sementara 'ketukan', ditentukan oleh birama yang ditetapkan dalam satu bar. Misal, dalam birama 4/4, berarti ada 4 ketukan tiap satu bar. Soal berapa not yang bisa Anda mainkan dalam empat ketuk, itu sangat tergantung pada kepiawaian Anda menekuk jemari sedemikian rupa.
Tapi dari survei kecil-kecilan, kami mendapati, ternyata masih banyak yang menganggap musik matematika, sama dengan memperkosa tempo seenaknya. Bahkan ada juga yang mempersepsikan, musik matematika, sama dengan bermain-main di wilayah 'ketukan nggantung', atau syncopation. Dan konsep matematika ngawur seperti itu = jalan pintas menuju kemunduran intelektualitas.
Faktanya, kestabilan menjaga 'tempo', adalah harga mati untuk menggawangi ritme (ketukan) instrumen lainnya. Ini berlaku juga bagi mereka, yang mendeskripsikan dirinya, sebagai grup band matematika yang chaos.
Mari, kita pahami dulu konsep matematika abad 20, yang dicukil dari David B Calne dalam "Within Reason : Rationality and Human Behavior". Disebutkan, matematika memuat expanding universe (semesta yang mengembang), uncertainty principle (kaidah ketidakpastian) Heisenberg, dan general law of relativity (hukum relatifitas umum) Einstein. Sementara ciri pokoknya : ringkas (brevity), taat asas (consistency), dan abstraksi yang seksama (precise abstraction).
Pun halnya dengan musik. Yang harus (suka atau tidak suka), memuat ciri pokok matematika didalamnya. Coba lihat penjelasan kami di paragraf awal. Singkatnya, tanpa batas-batas struktur matematika macam ritme, aksen, dan durasi, adalah bualan ompong kalau musik bisa diciptakan.
Tapi ketika melongok ke konsep matematika abad 20, dan membandingkannya dengan musik yang benar-benar berhitung ala grup bawah tanah Indonesia , agaknya, masih jauh dari apa yang sudah dirintis Meshuggah, Cynic dan deretan jagoan musik gedubrak desing di sektor hitung-hitungan ini.
Yang harus digaris-tebalkan, mereka tidak sembarangan memasukkan unsur matematika. Mereka, sangat sadar, dan paham betul, bahwa matematika adalah rahim yang melahirkan math music. Mereka, benar-benar mengonsep hitung-hitungan tiap part yang diciptakan. Tiap presisi dihitung dengan cermat, sehingga menghasilkan eksekusi yang tepat.
Sayang, masih banyak musisi bawah tanah Indonesia, yang menggarap musik matematika, hanya sampai pada fase 'diusahakan-terdengar-seperti' musik hitung-hitungan. Padahal tidak jelas, apa yang dihitung, dan bagaimana metode menghitungnya. Hasilnya? Ya itu tadi, tidak bisa diperhitungkan (kalau tidak boleh disebut tidak bisa dipertanggungjawabkan).
Well, kami tidak sedang berkampanye mendulang suara "setuju" atau "tidak setuju" dengan artikel ini. Toh, bukan kewenangan kami untuk 'menghakimi' (baca : menganalisa isi tidak sama dengan menghakimi!). Toh, kami belum sampai pada tahap konklusi. Artinya, semua kembali pada Anda. Mau atau tidak, menjadi jauh bermartabat dan 'berisi', dengan berangkat dari akar yang benar. Sehingga outputnya, menunjukkan bahwa Anda bukanlah musisi bawah tanah yang asal gedubrak desing. Salam! [gc]

Selasa, 01 September 2015

[ 1stLD ]




Ketika Sepuh Belum Tentu Mampu Menjadi “Sesepuh”

Sepuh belum cukup valid dan sah untuk dianggap sebagai  sesepuh. Itu kami sepakat. Tapi kami juga menggaris-tebalkan satu fakta yang dicuatkan Andre Siksa Kubur, bahwa yang masih bau kencurpun, belum tentu bisa menuakan yang memang selayaknya dianggap “sesepuh”.  Kenapa?

"Selamat datang di dunia ketiga! Face it! Banyak hal yang di negara maju sudah bukan lagi hal penting, tapi  di sini [Indonesia-red] masih sangat penting. Contoh, pengakuan kalau kita ini senior, duluan, pembuka jalan,  pencetus, sedangkan hal-hal tersebut di atas adalah hal yang sudah lewat. Jadi intinya, mentalitas kita adalah senang berkutat di masa lalu. Sedangkan mentalitas bangsa maju adalah masa depan," urai Andre Siksa Kubur kepada Grim Corpse beberapa waktu lalu.

"Dan banyak yang lupa kalau ukuran musisi, seniman, apapun, yang dinilai tentunya adalah karya. Jadi tanpa karya yang signifikan, senioritas tak lebih hanya sebuah kalimat keren untuk menunjukkan kalau "Gue lebih tua"," sambungnya.

Sampai di sini, adalah masalah mentalitas yang terdeteksi. Bisul menahun, bertahun-tahun yang tidak juga segera pecah,  dan justru semakin menjadi borok berjudul pemlintiran tujuan mulia gerakan bawah tanah : "community for unity".

Apalagi berdasarkan survei acak yang kami lakukan, kami sampai kenyataan menyedihkan. Ketika "senioritas" tidak lain merupakan wajah lain "penindasan" bagi mereka yang masih bau kencur. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah-daerah.

“Menurut gue pribadi, bentuk-bentuk penindasan dari "senior" ke "junior" itu hanya untuk menutupi ketidak-mampuan mereka jadi panutan. Dan cara apa lagi sih yg bisa membuat kita nampak tinggi selain merendahkan yg lain? Tapi sekali lagi, that’s not musician way!,” tegas Andre menjawab “kolonialisme” tolol itu.

“Sebab buat gue sendiri kata senioritas itu ya hanya menunjukan tingkatan, era atau klasifikasi jaman \ angkatan. Dan biasanya kata senior \ senioritas dipakai dikalangan akademisi atau perusahaan misalnya. Dan di lingkup underground pun buat gue, kata "senior" itu hanya label untuk menunjukan kalau orang tertentu berasal dari era tertentu, tidak lebih dari itu, dan sama sekali tidak menunjukan tingkat intelektual, skill dan sebagainya,” jelasnya.

Andre juga menegaskan, hal itu juga berlaku bagi keberadaan Siksa Kubur. Maksudnya, jika tolak ukur “senior” itu berangkat dari “era”, Andre tanpa ragu mengiyakan jika Siksa Kubur termasuk dalam band senior.  “Tapi sudah, hanya sebatas itu aja! Itu tidak membuat kami lebih baik dari band-band muda. Sebab band tua tanpa karyapun tidak akan ada gunanya!,” tegasnya.

Sayangnya, masih menurut Andre, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dirubah. Ini karena masalah mentalitas itu sudah terlalu amat sangat mengakar. Seperti gila hormat, mengagungkan senioritasnya, dan suka merendahkan juniornya. “Itu hal-hal yang tidak bisa dihentikan. You just have to live with it and don’t give a single fuck,” sarannya.

Ini tentu menjadi saran yang sangat menarik dan konstruktif menurut kami. Apalagi jika melawan, perlawanan itu masih dianggap tabu, dan tak jarang berakhir dengan pembunuhan karakter, mutilasi kesempatan untuk berkarya, termasuk stempel “cari perkara” yang tercetak tebal di jidat.

“Cara yang dari dulu selalu berhasil adalah, take a stand, do your things and never be afraid! Karena cuma karya yang bisa membungkam mereka. Dengan berkarya dan tampil sebaik-baiknya, waktu yang bakal menentukan siapa yang akan tetap berdiri. I did that, and it feels good!,” sambungnya.

Tapi itu juga bukan berarti pembenaran bagi Anda yang tergolong bau kencur untuk mengabaikan rasa hormat pada mereka sudah “lebih dulu”. “Sebab basically we have to respect every human being. Tapi kita yang menentukan who deserves it [respect-red] dan sangat tergantung pada apa yang sudah diberikan yang tua. Baru kita bisa memutuskan seperti apa bentuk rasa hormat yang harus diberikan. Pure respect? Or just applause? Or both? Or none? ” tutup Andre. [gc]






Ketika Ksatria Logam Hitam Siap Hitamkan Dunia.
2013 bisa jadi merupakan tahun kebangkitan bagi penggiat Logam Hitam tanah air. Bagaimana tidak. Belumlah reda gendang telinga "rusak" dihajar jahatnya "Warkvlt", disusul dengan kelahiran album "Dhoho Satan Attack" yang tanpa basinya basa-basi merampas habis isi kepala. Kini genderang perang dari Madura bertajuk "350" itu juga sudah mulai ditabuhkan.
Prediksi mengenai eksistensi Black Metal di masa mendatang dipercayai oleh beberapa komunitas bakalan bertumbuh. Front Man MAKAM Shiva Ratriarkha mengatakan, hal tersebut sebenarnya tidak terlepas dari efek domino dari banyaknya festival tour yang digelar di beberapa kota besar di tanah air yang juga sekaligus menyajikan deretan artis-artis Black Metal kawakan kaliber internasional.
“Perihal hubungannya dengan fenomena demam peluncuran album akhir-akhir ini oleh Black Metal lokal menurut saya pribadi, ya semacam gayung bersambut. Ada semacam “penyegaran” oleh faktor di atas, hanya hebatnya ini diserap semangat dan inspirasinya kemudian dirayakan kembali lewat karya dan kemasan yang baru. Jadi saya melihatnya para kombatan metal di wilayah ini cukup cerdas dalam menyikapi setiap dinamika dan perkembangan zona metal di tanah air.
Mungkin, jika saya boleh berkomentar,  ini adalah saat yg tepat untuk menunjukan dedikasi dan eksistensi di dalam BM. Disaat band-band dari luar negeri silih berganti merangsek masuk, perform dan melakukan lawatan tour, kita yang di dalam negeri telah siap mengisi setiap ruang gema yang ditinggalkan,” ulasnya kepada Grim Corpse beberapa waktu ini.
Tapi demikian, Shiva menegaskan, tidak serta merta hal itu bisa dijadikan tolak ukur kebangkitan Logam Hitam Indonesia. “Ini bisa menjadi salah satu faktor analisa tersebut, hanya saja ini tidak cukup. Diperlukan fenomena yang lebih untuk mendukung dan meyakinkan bahwa ini sebuah era kebangkitan. Misalnya muncul fenomena yang cukup signifikan dimana didapati adanya “demam” acara total black metal fest local yg mampu menghadirkan headliner band Black Metal mancanegara.
 Ini penting menurut saya, sebab konsep seperti itu akan cukup efektif sebagai materi pembelajaran dan gaungnya diyakini cukup mampu memperdayakan Black Metal lokal itu sendiri dari banyak sisi. Kita bisa bayangkan dari tata kelola penyelenggara, konsep acara, fashion, merch, artworker, media, hingga artis lokal Black Metal tanah air, semua komponen ini dipastikan akan mampu bersinergi satu sama lain. Dan gongnya adalah keterbukaan dan keperpihakan pihak-pihak yang mampu mengangkat Black Metal  ini sebagai industri. Lalu tataran selanjutnya adalah merayakannya dalam karya, karena inilah gerbang kebangkitan yg sebenarnya,” paparnya.
Dengan kata lain, tidak ada salahnya juga bagi para penggiat untuk membekali diri dengan sejumlah amunisi macam inovasi juga invasi otak demi lahirnya karya-karya yang tidak melenceng jauh dari kata kualitas.
Seperti yang disampaikan gitaris Obor Setan Eep La Guera yang mengatakan, bahwa kebangkitan yang sebenarnya terletak pada sisi kualitas. “Terutama player/musisi Black Metal  belajar dan terus belajar untuk meningkatkan skil musikalitasnya yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya dan berbentuk fisik yang bisa didengar dan dinikmati oleh para kalangan pendengar setia.
Selain itu, mengerti dan bertanggungjawab atas apa yang telah dia perbuat/lakukan. Contoh, ada band Black Metal melakukan ritual [sajen, minum darah kelinci, memakai kostum kain kafan "pocong" dan sebagainya], tapi begitu ditanya untuk apa kalian melakukan itu? dijawab : biar kelihatan serem, biar kelihatan sangar. Tanpa ada jawaban yg bisa dipertanggung jawabkan dan segi musikalitas yang kurang baik,apakah itu sebuah kebangkitan? Kemajuan? Atau malah keterpurukan?,” tanyanya balik.
Ya, pertanyaan itu jelas menjadi tanggung jawab semua pihak, utamanya bagi Anda yang memberi label diri sebagai musisi, penggiat. Di luar ingar-bingar kebangkitan yang ditandai dengan rilisan bentuk fisik, pertanyaan sederhana itupun kami sisipkan. Sudah siapkah Anda, para ksatria Logam Hitam menjadi ksatria yang berkualitas? [gc]
Quote of the day :
“Tolok ukur kebangkitan suatu pergerakan aliran bermusik dari segi kualitas menurut pribadi saya dapat dicermati dari rilisan, hasil rekaman, format kemasan, materi musikalitas, kekuatan lirik, kematangan konsep artwork, pemilihan tema hingga tata visual presentasi band, baik itu dlm konsep photo session maupun live perform. Jika ini menunjukkan kepada arah yang lebih mempunyai nilai atau pesan dan ini mulai me-indikasi-kan penyadaran untuk meninggalkan hal-hal yang sepantasnya tidak diperlukan atau bukan pada tempatnya di dalam konteks metal scene, maka itulah tahapan sisi kualitas muncul dan dikenali”. – Shiva Ratriarkha of Makam.




…Menjadi Pagan, Atas Nama Tuhan…


A religion old or new, that stressed the magnificence of the universe as revealed by modern science, might be able to draw forth reserves of reverence and awe hardly tapped by the conventional faiths. Sooner or later, such a religion will emerge. (Carl Sagan, Pale Blue Dot - 1994)

Ketika memahami saja tidak cukup, ketika meyakini dengan membabi buta tidak laku, ketika kita bicara soal pagan, garis bawahi tebal-tebal : ini bukan lagi soal 'isme' sempit dan gelap. Tidak bisa mencongkel hanya di satu sisi saja. Karena tidak bijak rasanya, mengumbar pengetahuan yang hanya secuil. Ya, itu kata kuncinya. Pengetahuan. Karena kali ini kita akan berhadapan, dengan sejarah yang nyaris sama tuanya, dengan usia peradaban dunia.

Sejauh ini, yang bisa kami katakan, pagan berasal dari bahasa latin. Tapi tidak ada satupun definisi yang mampu menjelaskan secara gamblang, makna kata itu. Tapi setidaknya, ada tiga interpretasi mayor, yang bisa kami rangkum. Pertama, kelompok modern, yang memaknai pagan sebagai sesuatu yang “kuno”. Masih melakukan serangkaian upacara ritual, menyembah patung keagaaman Yunani, Romawi, dan aliran "banyak Tuhan" lainnya.

Kedua, mereka yang percaya, pagan berasal dari kata "paganus" yang berarti masyarakat sipil. Lawan dari militer. Ini bisa ditemukan di literatur awal abad Kekaisaran Romawi. Saat itu, penganut katolik menamakan dirinya sebagai "Miles of Christ" atau Prajurit Kristus. Dan menjuluki non-katolik, sebagai "pagani", yang berarti bukan prajurit.

Ketiga, mereka yang lebih suka menggunakan terminologi netral, yang ditawarkan Christine Mohrmann di "Encore une fois: paganus". Mohrmann menjelaskan makna pagan sebagai "The Outsider".

Ketiganya, tidak bisa dilepaskan dari penyebaran agama Katolik, sebelum dunia nmemasuki Abad 5 Sesudah Masehi. Dan tidak satupun dari definisi di atas, disepakati secara mutlak. Artinya, pro dan kontra, berasal dari sudut pandang mana Anda saat ini berdiri. Dan tentu saja, sejauh mana Anda memahami secara obyektif, bahasan yang Anda kuasai.

 Memasuki abad ke 5 Sesudah Masehi, pengertian pagan mulai berkembang. Tidak lagi melulu mengacu pada satu agama tertentu. Malah lebih buruk dari itu. Pagan dan pelakunya, nyaris dikaitkan dengan pemujaan terhadap demit. Sekali lagi, ini karena tidak banyak masyarakat yang paham soal Pagan. Dan menelan mentah-mentah makna na'udzubillah itu. Tanpa filter. Bablas begitu saja.

Sampai di sini, kami sangat menyarankan Anda, untuk berada dalam kotak pemahaman yang sama. Yakni melihat Paganisme sebagai jalan spiritual. Yang mendasarkan kepercayaannya, bisa pada pengagungan dewa-dewa, simbol, dan atau, tata cara ritual yang berasal dari kepercayaan kuno.

Kalau negara Barat punya aliran kepercayaan macam Druidic, Asatru, Wicca, Hellenimos, Religio Romano, Kemetism dan sebagainya, maka Indonesia punya yang namanya Kejawen. Sebuah aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke Jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah, tetapi juga mengakui mistik yang berkembang, dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.

Kalau kata Djiva Ratriarkha (Makam), paganisme bisa juga dikenali sebagai sebuah pergerakan, untuk melestarikan tradisi spiritual asli turun-temurun warisan dari moyang suatu bangsa. Dan sebuah identitas penolakan yang memerdekakan.

Baik Barat maupun Timur, masing-masing aliran bemuara dari akar yang sama. Kepercayaan kuno. Tapi aplikasinya berbeda-beda. Wicca dan Druid misalnya. Fokusnya pada keselarasan alam. Hellenimos dan Religio Romana, lebih mengacu pada penyembahan dewa-dewa. Dan yang paling dekat, yang bisa Anda pelajari, ritual dalam Kejawen.

Singkatnya, pagan, sama halnya dengan agama “Tuhan itu Satu, dan Satu-satunya Tuhan”. Mengacu pada kedamaian dalam hal batiniah. Berifat sangat personal. Pribadi. Yang membedakan, cuma dua : persepsi dan regulasi.

Soal persepsi, sekali lagi sangat tergantung pada kemauan Anda membekali diri dengan banyak referensi. Dan kemauan Anda, mengolah informasi tanpa tendensi. Sementar soal regulasi, terus terang, kami malas mengulas banyak soal ini. Karena sangat terikat dengan politisasi. Dan sejak politik sudah melukai intelejensi, jadi maaf, kami lebih suka mengisi TTS, daripada mengurai isi tanpa isi.

Terakhir, apa yang kami sampaikan, tidak bisa dikatakan sebagai rangkuman, apalagi akhiran. Ini hanya prolog tanpa perlu ada epilog. Justru kami berharap, Anda mau menguliti lebih jauh, apa yang sudah kami tawarkan saat ini. [gc]



Satanic, When The Clown Wearing A Crown

Sah-sah saja memang, ketika Anda memproklamirkan diri sebagai penganut Satanis. Tapi jika Anda berkoar-koar hanya sekedar pamer sangar, dan lebih buruk lagi, menjualnya sebagai “sensasi murahan” berkedok “atraksi kampungan” di atas panggung sembari mengibarkan bendera Black Metal, tampaknya Anda perlu mengkaji ulang pemahaman Anda tentang Satanisme. Ini, jika Anda tidak ingin disebut sebagai badut yang sedang mengenakan mahkota logam hitam.


Tenang, kami tidak sedang menghakimi. Kami hanya mengajak Anda untuk menguji kembali visi-misi Anda. Apakah Anda adalah Satanis yang Black Metal, atau Black Metal yang Satanis, atau malah Satanis yang Tidak Satanis? Ini penting untuk diketahui, bukan semata untuk Anda, tapi juga untuk pembelajaran bagi semua pihak.

Sebab bukan tanpa alasan, jika banyak pelaku dan penggiat Black Metal di ranah bawah tanah Indonesia, kemudian berbalik mempertanyakan visi-misi Anda sebagai Satanis. Apalagi dalam prakteknya, Anda memperkuat visi tersebut lewat aksi panggung yang melibatkan darah, pengurbanan hewan, dan berdalih bahwa hal yang Anda lakukan, merupakan bagian dari ritual Anda sebagai penganut Satanis.

Dan yang perlu digarisbawahi tebal-tebal, ada harga mahal yang harus dibayar para musisi Black Metal lainnya, yang mengedepankan karya ketimbang aksi tanpa makna. Mulai dari dianggap sebelah mata, baik secara terbuka ataupun tertutup diblack-list dari sebuah event, sebab paranoia event-organizer terhadap stigma sempit bahwa musisi Black Metal pasti melibatkan ritual, dan sebagainya.

Satu hal yang pasti, jika Satanisme adalah sebuah paham, ajaran, ideologi, yang sifatnya hanya sampai pada tataran personal, dan sama seperti ajaran keagamaan lain yang memasukkan ritual sebagai media berkomunikasi dengan “Yang Maha”, maka tentu saja ada kode etik, syarat dan kondisi tertentu ketika melakukan sebuah ritual.

“Artinya, baik dengan alasan tradisi atau satanisme, ini semua sudah kelewat salah kaprah! Sebab membawanya (ritual) di atas show, sangatlah memojokkan dan merendahkan eksistensi Black Metal sebagai kumpulan badut-badu horor mesum (mirip tren perfilman nasional) dan jauh dari kesan kelompok pemusik ekstrem metal,” tegas Vokalis Kejawen Pagan Metal Makam Solo, Shiva Ratriarkha.

Shiva juga menyampaikan keprihatinnya dengan fenomena ritual Satanisme di sebuah event extreme metal. “Kita yang mempunyai ritual tradisi saja, ga pengen tuh ngikut mengusung adegan konyol seperti ini, atau bahkan katakanlah kita punya link dengan kaum okultis, juga ga sebegini cerobohnya show up dengan ngobral pamer sangar,” lanjur abdi dalem Keraton Solo ini.

Senada dengannya, motor Band Black Metal asal Jogja Nosferatu, Eitaz mengatakan, sebuah paham yang sungguh-sungguh, memiliki tujuan dan arah pergerakan yang tidak hanya mencari sensasi. Begitu juga dalam Satanisme dan ritual didalamnya.

“True Satanic itu seharusnya bersikap seperti umat beragama lain. Mau agamanya Kristian, Muslim, Budha, Hindu, ataupun Satanic. Manggung ya manggung, nge-band ya nge-band, berinteraksi selayaknya yang lain. Apalagi di dalam Thelema, Les Litanies Des Satan, atau bahkan Satanic Bibble, setahuku ngga ada yang mengatakan konser ato manggung itu sarana ibadah,” jelas Eitaz.

Terpisah, pentolan War Metal Rajam asal Madura Yayak mengatakan, tindakan ritual berdarah tersebut sudah tidak bisa dipertanggung-jawabkan, dan tidak jelas apa relevansinya antara ritual dengan keberadaan mereka sebagai musisi.

“Sebab setiap saya bertemu dengan band tersebut, mereka tidak pernah bisa menjawab pertanyaan seputar Satanisme atau ritual itu sendiri. Referensi mereka dalam bermusik kosong, dan terkesan hanya asal saja,” jelas penggemar motor Vespa ini. Pernyataan ini, sekaligus menjawab banyak pertanyaan tentang “ada atau tidaknya mediasi” antara pelaku ritual Satanisme dengan musisi Black Metal lainnya.

Dan lagi, seperti yang dipaparkan Shiva, selain lewat diskusi dengan pihak yang terkait, ada banyak cara untuk mengenali dan menggali alasan dibalik ritual yang menggunakan media darah hewan. Diantaranya, dengan mencermati prosesi dan cara yang digunakan untuk menemukan “kebenaran” atas tujuan yang diutarakan.

“Pertanyaan balik, bukankah agama-agama samawi juga melakukan ritual tahunan yang sama? Tetapi apakah ritual itu dilakukan untuk dijadikan bagian dari sebuah pertunjukkan? Artinya pada poin ini, kita semestinya sama-sama sepakat bahwa adegan atraktif berdarah di atas panggung, tidak diperlukan dipementasan Black Metal nasional kita,” lanjutnya.

Sementara itu, Keyboardis Thirsty Ov Blood Daniel Natjaard menegaskan, jika hal ini tidak segera mendapat perhatian serius, efek negatif terbesar kembali lagi pada eksistensi masyarakat Black Metal secara luas. Mulai dari hancurnya imej band Black Metal sebagai musisi berdarah, anggapan sebagai badut panggung, dan musisi yang “asal bunyi”.

“Dampak yang sangat mendasar dan mendalam adalah, semakin terpuruknya musisi Black Metal yang benar-benar serius dalam hal visi misi, juga bertanggung jawab dengan karya-karyanya, dikarenakan penilaian miring dari masyarakat sekitar, maupun cibiran dari musisi-musisi dari genre musik yang berbeda. Termasuk tekanan dari pihak penyelenggara event yang notabene sudah terlanjur memvonis, bahwa Black Metal adalah Musik Setan yang norak dan sangat tidak direkomendasikan untuk naik panggung besar,” paparnya.

Dengan kata lain, ketika kita bicara tentang Black Metal, tuntutan terbesar bagi Anda sebagai musisi (apapun ideologinya), adalah kualitas, bobot materi dari apa yang ingin Anda sampaikan melalui karya nyata yang seharusnya menjadi titik fokus. Dan bukan sekedar aksi panggung tolol yang berbuah masalah konyol bagi penggiat Black Metal di Indonesia. [gc]


Black Metal Religi

 [ Penulis Abah Supriyanto pada Lost in Chaos #24]

Fenomena Black metal Religi sekarang mulai merebak di skena Black Metal Nusantara. Sebelumnya fenomena gerakan metal satu jari mulai berkembang di negeri ini, namun fenomena black metal religi ini cukup absurd, seperti minyak dan air berdasarkan pemahaman satu dan lainnya.

Black metal merupakan genre yang sudah kita ketahui , banyak muatan anti religi, secara singkat , blackmetal adalah salah satu dari cabang musik ekstrim yang mengusung tema kegelapan, kejahatan , paganis , pemberontakan yang kental di tiap hentakan musik dan lirik yang ada disana. Kadang banyak menempatkan blackmetal adalah sebuah lifestyle, mulai dari cara pandang, cara berpakaian sampai cara bertingkah laku yang semuanya bernuansa Jahat dan ejam. Apakah dengan menggabungkan nuansa religi yang cenderung damai, suci dan bersih dengan konsep musik kegelapan bisa berhasil ? Jawabannya ya, tapi dengan konsep musik lebih pintar, berekspresi dengan cerdas dan bertanggung jawab, baik dari sisi konsep, musikalitas, lirik dan komposisi musik yang dituangkan dalam karya musik mereka. Contohnya seperti yang diusung Restless sehingga pesan yang mereka sampaikan bisa diterima oleh masa dengan baik oleh orang awam sekalipun, tapi musik mereka tetap metal . Suasana peperangan dikemas dengan simfoni musik yang bisa dipadukan dengan tema musik reliji bisa menjadi sinergi yang positif. Pesan positif juga bisa disampaikan dengan konsep musik yang lebih keras seperti Saffar dengan nafas religius yang kuat di tiap liriknya.

Yang pasti bila kita ingin menggabungkan konsep musik blackmetal dengan tema religi, kita bisa menyimak mundur bertahun tahun ke belakang, fenomena ini dikenal dengan Unblack metal atau white metal  dengan konsep heavy metal, kita mengenal Stryper, konsep thrash metal ktia mengenal Believer, konsep Death metal kita mengenal Mortification, Black metal kita mengenal Horde, Crimson Moonlight , Vaakevandring dan Kekal merupakan pionir utama di sub genre ini. Dan untuk konsep musik yang lebih modern, kita mengenal Underoath. Tapi semua dikemas dengan baik dari musik, lirik,cover album sampai ke aktualisasi tampil di atas panggung. Personel dan musisi band band tersebut yang cenderung tidak banyak memberikan statement yg berkaitan dengan agama Mereka cukup berekspresi dalam lirik lagu dan tidak meberikan statement yang bernuansa intimidatif, agresif dalam wawancara dengan media atau statement lainnya. Inilah yang berbeda dengan fenomena blackmetal religi dan unblackmetal . Musisi unblack metal kebanyakan merupakan musisi yang cukup mumpuni baik dari sisi musikalitas yang tercermin dari sisi musikalitas, cara  menulis lirik, sampai representasi dalam bentuk artwork . Mereka berusaha menyampaikan dengan cara lembut, hanya lirik mereka yang bernuansa positif .

Hal ini cukup kontradiktif dan berbeda dengan blackmetal religi yang banyak mengumbar statement di media sosial namun minim karya. Bahkan sepintas gimmick yang kita lihat juga sedikit absurd dimana kadang menggunakan full corpespaint tapi juga menggunakan atribut religi mereka.  Corpsepaint merupakan representasi dari musik kegelapan dan banyak digunakan sebagai alterego dari musisi itu sendiri, ketika seorang musisi menggunakan corpsepaint , maka itu merupakan representasi dari sisi gelap nya , manifesto itulah yang dia tampilkan selama di panggung. Setelah itu dia kembali menjadi manusia biasa yang hidup bermasyarakat dan menjadi makhluk sosial yang mungkin siapa tahu dalam keseharian jauh lebih relijius dibanding para musisi blackmetal religi tersebut.

Fenomena blackmetal religi ini semakin menguat ketika banyak musisi blackmetal mengalami kegalauan luar biasa, dimana konsep musik black metal ini banyak tidak diterima di skena musik secara umum, tapi mereka ingin tetap mengaktualisasi diri dalam skena musik. Faktor ini juga yang mendorong mereka untuk banting setir mengusung tema religi , dan tak jarang masih menggunakan nama band lama mereka, yang sebenarnya sangat kontradiktif dengan tema religi itu sendiri. Bahkan tak jarang juga statement statement mereka mengundang kontroversi yang justu hal itu menurut penulis, sengaja ditampilkan agar menjadi trending topics atau pusat perhatian saja .

Pesan kedamaian yang disampaikan tidak perlu berapi api dalam setiap statement atau dalam lagu,kalau kita ingin mengangkat nilai positif dari tema yang akan disampaikan. Pesan perdamaian juga berlaku bagi semua orang, karena musik adalah bahasa universal. Nilai inilah yang bisa kita ambil dari band Israel yaitu Orphaned Land. Orphaned Land adalah contoh yang baik dari musisi dengan tema perdamaian dan mengenyampingkan nuansa religi atau kebencian bahkan peperangan yang sebenarnya bertolak belakang dengan pesan kedamaian dalam setiap agama yang ada.

Jadi fenomena blackmetal religi ini hanya fenomena sesaat atau kontinu menjadi sesuatu yang besar ? Hanya waktu yang bisa menjawab, karena mental bangsa kita yagn cenderung musiman, ketika musim A lagi trend, banyak yang ikut trend tersebut tanpa mengikuti esensi dari apa A tadi.  Dasar atau fundamental yang berbasis minyak dan air , jika dipadukan tentunya tidak akan menyatu, itulah yang bisa penulis sampaikan , Absurd.





Indonesian Black metal : a retrospective
 [ Penulis Abah Supriyanto pada Lost in Chaos #24]
Musik adalah bahasa universal dan menjadi bahasa umum dalam transformasi dan akulturasi budaya. Metal pada umumnya secara global memberikan peranan penting dalam perkembangan industri musik keras di dunia dengan segala pernak pernik intrik konflik sosial di dalamnya. Para remaja di tahun dasawarsa 80’an akhir akan banyak menggandrungi musik glam rock atau heavy metal. Begitu pula dengan remaja di awal era 90’an banyak terinspirasi dengan musik yang lebih keras, apakah itu thrash metal atau old school death metal. Seiring dengan derasnya arus globalisasi dan kala itu banyak ditunjang dirilisnya kaset kaset genre blackmetal era awal seperti Bathory, Darkthrone, sampai Dimmu Borgir menjadikan inspirasi bagi penggiat skena metal di Indonesia untuk membuat era baru kegelapan di skena musik nusantara.

Skena musik underground nusantara mulai berkembang di tahun 94-an dengan mulai banyaknya band band bernuansa kegelapan di nusantara, walau masih bermusik secara death metal, namun Grausig, Zalzalah , Sacrilegious dan Zalnabur menjadi cikal bakal berkembangnya musik ini di Jakarta  juga Bandung dan sekitarnya. Media broadcast seperti Radio memegang peranan penting dalam perkembangan musik Black metal di Nusantara , seperti radio GMR di bandung yang memiliki jam jam khusus memutar demo demo dari band lokal . Hal ini lah yang memicu berkembangnya skena musik blackmetal dalam negeri dengan mulai ramainya band band mengeluarkan demo  album mereka, baik dirilis sendiri atau bergabung dengan sebuah label blackmetal tertentu, tercatat kala itu label RA production , THT Production dan Dark banner production adalah label yang cukup produktif untuk merilis khusus band band dengan nuansa black metal lokal.

Rilis awal band blackmetal nusantara masih bernuansa death metal dengan digabung lirik nuansa mistis, yaitu Sacrilegious dan Legion Lost , (kemudian dikenal dengan nama Mystis). Band blackmetal lokal yang benar benar memainkan musik karakter blackmetal yang raw, grim, kasar dan gahar pertama kali adalah Ritual Orchestra dengan demo 6 lagu, yaitu “Satan in my Embrace “ yang dirlis oleh Mindblast Malang di pertengahan tahun 1996 , beberapa lagu yang masuk ke dalam demo tersebut, direkam ulang untuk dikemas menjadi full album pertama mereka yaitu Seeking Immortal di akhir tahun 1997. Tercatat juga di tahun 1997 , rejim black metal nasional kembali diramaikan dengan dirilisnya Under a Veil of Religion milik Dry dengan sound yang lebih kasar dengan inspirasi konsep musik blackmetal yang kencang dan tanpa ampun. Dua band di atas ( Ritual Orchestra dan Dry ) terinspirasi konsep blackmetal yang dimainkan dengan kasar, kejam ala Marduk dan Immortal. Konsep musik Black metal dengan simfoni kegelapan dengan musik lebih membius dan melodius , disajikan oleh Perish dengan “From the Rising Dawn” , dan copy dari Cradle of Filth asal bumi parahyangan – Crusade yang menelurkan The Darkness call my name di tahun 1998.  Sehingga boleh disebut band band diatas memberikan landmark, atau pijakan penting di era gelombang pertama blackmetal Nusantara.

Gelombang pertama blackmetal nusantara juga timbul dengan adanya akulturasi dengan budaya lokal, tercatat rilisan yang menjadi landmark di kelompok ini adalah Makam dari Solo dengan demo Sympathy for the beast yang cenderung masih kasar dan nuansa javanese black metal belum ter-representasi dengan baik, juga demo milik Sacrifice - Kidung Waringin Sungsang di akhir era 90-an menegaskan bahwa era baru akulturasi musik blackmetal dengan budaya lokal makin mengerucut dalam konsep musik, artwork album dan tak kadang dalam aktualisasi di panggung. Generasi gelombang pertama musik blackmetal nusantara ini, akhirnya berhasil dipertajam konsep akulturasi ini dengan rilisan Iconoclasm “Sesaji Kidung Pamungkas, “, dan Makam “ Makabre Amuletha”. Konsep musik metal dengan memadukan budaya dan kearifan lokal ini juga dipakai oleh Santet lewat Mahar hutan larangan, sebuah landmark musik blackmetal nusantara yang dengan sangat baik menggabungkan konsep musik simfoni blackmetal dengan not not musik pentatonis gending lokal.

Blackmetal nusantara juga memiliki landmark penting dalam perkembangannya yaitu dengan adanya album kompilasi ,sehingga para penikmat di kalangan skena bisa mengapresiasi band band lama dan baru yang berkecimpung di skena dan kadang juga ditambah dengan partisipasi band manca negara . Tercatat album kompilasi penting diawali oleh kompilasi Neohelist yang dirilis oleh label Extreme Souls Production,Bandung  ditambah Kompilasi Legion Timur oleh Rotorcorp menjadikan musik blackmetal di akhir 90 dan awal 2000 memberikan warna tersendiri dalam pergerakan musik metal dan underground di nusantara.

Dengan berkembanganya musik blackmetal di nusantara, tidak diibangi dengan pengertian dan pemahaman yang umum mengenai musik blackmetal ini, yang akhirnya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk mengambil keuntungan walaupun akhirnya mengakhibatkan mati surinya perkembangan musik blackmetal di tanah air dengan memuat judul "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Memang pemahaman umum bahwa musik blackmetal erat hubungannya dengan Satanisme atau Pemuja Setan, liputan dan wawancara dari tabloid adil yang cenderung menyudutkan para pelaku dan penggiat musik blackmetal tanah air , mengakibatkan imbas dan efek yang cukup luar biasa ditengah semarak dan produktifitas para penggiat skena. Para penggiat skena blackmetal tampak takut untuk berkarya, karena seolah sudah ada cap di dahi mereka “ SATANIS”.

Perlahan namun pasti, skena blackmetal tanah air kian meredup seiring dengan banyaknya isu miring dan konflik di internal band, yang mengakibatkan banyak band memutuskan untuk vakum dan ada pula yang banting setir menjadi penggiat genre death metal, baik dari secara personal atau dari konsep musik band tersebut yang berubah total. Dan secara perlahan pula ada sebagian orang yang mulai bangkit dari keterpurukan tersebut dan mulai menelurkan karya karya mereka . Tercatat oleh penulis, di tahun 1999, Santhet dari Malang adalah yang pertama merilis album “Dark art from East Java” yang merebut momentum kebangkitan penggiat logam hitam nusantara. Sementara itu amunisi kejam lainnya dimuntahkan oleh Neurotic of Gods lewat the Night Domination di tahun 2000.

Lambat laun skena musik blackmetal nusantara yang seakan akan menghilang di awal tahun 2000 sampai sekitar tahun 2007, menemukan titik balik kembali, seiring dengan adanya arus globalisasi lewat media sosial, yang banyak mempertemukan kawan kawan lama, dan momentum untuk reuni kembali pun akhirnya banyak dimanfaatkan oleh band band yang telah lama vakum, sebenarnya bukan hanya skena blackmetal, tapi skena death metal pun banyak terimbas oleh media sosial ini.  Salah satu momen yang bisa penulis catat adalah statement band yang pada tahun 2009 cukup kontroversial, yaitu Melody Maker dimana band ini pernah berujar di media asing , pernah melakukan tour dengan Arch Enemy, sontak skena metal nasional cukup geger akibat kebohongan ini , yang pada kenyataannya mereka hanya diberikan slot sebagai band pembuka Arch Enemy di Jakarta. Akhirnya band yang sempat dilabeli sebagai “ dimmu borgir nya Indonesia “ ini akhirnya memilih untuk mengubah konsep dan image mereka menjadi metal religi.

Tahun 2008  bisa dikatakan sebagai tahun kebangkitan skena Black metal indonesia generasi / gelombang ke dua. Banyak band band baru bermunculan dengan semangat baru, walau personel nya masih orang orang lama, atau band band baru yang segar dengan ide baru , konsep bermusik baru yan g benar benar memberikan darah segar bagi skena musik kegelapan di nusantara. 2 Nama yang patut diperhitungkan , yaitu Bvrtan dan Vallendusk. Bvrtan lahir dari ide iseng Pakde Zul dan Nico yang dulu aktif di Sickmath untuk mengggagas konsep musik ala Burzum dan Darkthrone, blackmetal dengan lo-fi dengan tema lirik kerakyatan, pertanian dan tema sosial kemasyarkakatan yang bersifat lebih membumi di negeri ini. Lewat Pacvl kegelapan nya mereka melahirkan beberapa album dan mini album yang cukup fenomenal sampai kini. Vallendusk  di sisi lain memberikan arahan bahwa musik post blackmetal bila digarap dengan sangat serius bisa mendunia dan inilah bentuk paling sempurna dan tepat musik blackmetal nusantara sampai kini. Vallendusk bisa merepresntasikan konsep alam, tema kegelapan dan komposisi musik yang cukup rumit namun ‘easy listening’.

Seiring dengan banyaknya panggung dan gigs bertaraf internasional di Indonesia yang mengundang band band blackmetal, hal ini juga mengubah paradigma dan mindset para pelaku dan penggiat logam hitam di Indonesia menjadi lebih terbuka, namun tak jarang juga yang masih berkutat bagai katak dalam tempurung. Blackmetal nusantara kini tengah memasuki era baru, yang bisa saya katakan sebagai era 2nd wave of Indonesian Blackmetal dengan berbagai warna warni konsep musik di dalamnya. Semoga hal ini menjadi trend yang positif dan kembali para musisi harus memberikan karya yang cerdas ,berkualitas dan bertanggung jawab, sehingga bisa mendidik para penggemar mereka agar lebih kritis dalam menilai karya mereka secara kualitatif.